[SUARA PEMBARUAN DAILY-JAKARTA] Tingginya harga jagung dunia diperkirakan akan bertahan hingga 2017 nanti. Kondisi tersebut, mendorong banyak investor yang berminat menanam jagung dalam skala luas di Indonesia.
Dirjen Tanaman Pangan, Sutarto Alimoeso di Jakarta, Jumat (5/9) mengatakan, sekitar 25 investor mancanegara siap mengembangkan "Corn belt". Di antaranya perusahaan Agroenerpia dari Korea Selatan berencana membuka 17.500 ha kebun Jagung di Buol Sulawesi. PT Rainbow Energi dari Jepang yang berencana mengembangkan kebun jagung seluas 40.000 ha di Jawa Timur.
Country Manager PT DuPont Indonesia, Mardahana mengatakan, saat ini ke-25 perusahaan calon investor itu sedang studi banding (field trip) mekanisasi jagung di Thailand.
Thailand dipilih karena telah berpengalaman menerapkan pengolahan lahan pertanian dalam skala luas menggunakan mesin pertanian (mekanisasi). Thailand juga telah memproduksi sendiri mesin-mesin pertaniannya.
"Pertimbangan lainnya karena kemiripan kondisi agroklimat Thailand dengan Indonesia," ujar Mardahana.
Saat ini, lanjutnya, Thailand memiliki 1,2 juta ha kebun jagung dan semuanya sudah menggunakan benih hibrida. Sementara Indonesia dengan luas areal tanam 3,35 juta ha/tahun, baru sekitar 30 persen yang menggunakan benih hibrida, sehingga produksinya masih rendah.
Studi banding untuk mempelajari teknologi budi daya, mulai proses persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan tanaman, panen, dan pascapanen secara lengkap. Para calon investor juga menyaksikan proses pembuatan silase jagung untuk pakan ternak.
Salah seorang peserta field trip, Anton Supit, yang juga Ketua Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) mengatakan, kagum dengan kemajuan mekanisasi jagung di Thailand, yang bisa membuat usaha pertanian jagung dengan efisien. Menurut Anton, Indonesia bisa melakukan mekanisasi pertanian seperti halnya Thailand.
"Teknologi mekanisasi itu instan, bila punya uang kita bisa beli, bila tidak punya uang kita bisa sewa," tambahnya.
Hanya saja, untuk bisa diterapkan di Indonesia ada kendala dalam hal pemilikan lahan dan budaya. "Pemilikan lahan per petani di Thailand antara 5-7 ha, di Indonesia pemilikan lahannya rata-rata hanya 0,3 ha," tambahnya.
Oleh karena itu, Anto Supit mengharapkan, agar pemerintah melakukan perubahan dalam pengelolaan lahan garapan petani.
Misalnya, dengan membuat model pengelolaan corporate farming yang dikelola kelompok tani ataupun gabungan kelompok tani.
"Program ini selanjutnya disosialisasikan kepada petani, sehingga mekanisasi benar-benar bisa dilakukan," harapnya.[L-11]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar