Selasa, 14 Mei 2013

Budidaya Udang Windu Intensif



Udang Windu



Perkembangan budidaya udang windu dihadapkan pada suatu kondisi yang kurang menggembirakan. Rangkaian kegagalan yang diakibatkan oleh berbagai faktor memerlukan solusi yang komprehensif; dengan melibatkan multi-disiplin ilmu dan keahlian untuk bekerja secara sinergis.  Di samping itu, dalam era perdagangan global dewasa ini, proses produksi perikanan budidaya –dalam hal ini udang tambak– mesti memenuhi kriteria food safety yang telah disepakati oleh masyarakat dunia; baik menyangkut hazard analysis (HACCP), Best Management Practices (BMP), hingga persyaratan ramah lingkungan (environmental controls).



Walaupun udang windu merupakan komoditas unggulan bagi sektor  perikanan budidaya, namun  harus diakui bahwa kemajuan  teknologi tambak udang di Indonesia hampir selalu tertinggal,  berbagai permasalahan dan kendala yang terus merebak lebih cepat.  Akibatnya budidaya udang windu menjadi terpuruk dan tidak mudah untuk bangkit kembali.  Semakin besarnya beban pencemaran di wilayah pantai, merebaknya berbagai jenis penyakit hingga faktor sosial-ekonomi yang tidak kondusif, semakin menempatkan usaha budidaya udang pada posisi yang kian labil.  Tidak kurang dari 80% lahan tambak udang yang pada era tahun 80-an sangat produktif, kini menjadi lahan kosong, atau dialihkan menjadi tambak garam tradisional.
Beberapa konsep teknologi tambak udang telah dikaji oleh BBPBAP Jepara atau pihak lain yang berkompeten. Namun perlu diakui bahwa tidak mudah menyebarkan teknologi tersebut secara utuh kepada petambak dengan kondisi lahan, sosial ekonomi, dan karakeristik petambak yang sangat variatif.   Upaya diseminasi yang diprogramkan untuk mempercepat penyebaran teknologi seringkali terkendala oleh faktor teknis dan non-teknis, sehingga upaya pembaruan prosedur operasional budidaya merupakan suatu pilihan yang harus dilakukan. Standard Operational Procedures (SOP) ini disusun berdasarkan pengalaman teknis BBPBAP di berbagai tempat dalam beberapa tahun terakhir.  

I. PENDAHULUAN

Kondisi Budidaya Udang Windu
Intensifikasi diartikan sebagai peningkatan hasil dengan menambah input produksi tanpa adanya perluasan lahan.  Dengan perkataan lain intensifikasi adalah peningkatan hasil produksi dengan memaksimalkan daya dukung lahan yang ada. Terdapat sebuah relevansi yang erat antara produksi dengan daya dukung lingkungan (carrying capacity). Daya dukung lingkungan (atau hasil produksi), dapat diperbesar sampai pada tahap tertentu, bukannya tanpa batas. Dan perlu diketahui bahwa daya dukung lahan adalah suatu yang dinamis, akan berubah setiap saat.  Karenanya budidaya udang windu intensif adalah proses produksi biomass yang hasilnya dapat ditargetkan pada besaran tertentu, sejauh persyaratan pokok dan pendukung kehidupan serta pertumbuhan dapat dipenuhi untuk persyaratan hidup yang normal. Usaha budidaya udang windu intensif pernah menunjukkan hasil yang memuaskan, hingga Indonesia menjadi salah satu produsen udang papan atas di dunia yang pada tahun 1994 mampu mencapai angka produksi 160.000 ton/tahun.    

Ternyata masa kejayaan udang windu terhenti setelah adanya serangan penyakit virus yang menginfeksi udang di tambak dan bahkan mencemari induk udang di laut.  Harus diakui bahwa rangkaian keberhasilan produksi pada masa lalu, ternyata tidak menyisakan prosedur baku yang dapat diterapkan untuk mengulang keberhasilan tersebut di masa kini.  Karenanya, alasan keberhasilan atau pun kegagalan  budidaya pada masa sekarang adalah merupakan interaksi beberapa faktor sekaligus dilakukan di suatu tempat pada waktu tertentu, cenderung tidak replicable, sehingga pelaksanaan budidaya terkesan menjadi sangat subyektif (bergantung kepada intuisi dan kejelian teknisi, dibanding berpedoman pada kaidah-kaidah budidaya yang umum). 

Pada tahun 1995, Balai Budidaya Air Payau (sekarang BBPBAP) Jepara mengembangkan teknologi resirkulasi tertutup pada tambak udang windu dengan menerapkan biofiltrasi menggunakan ikan-ikan predator, ikan bandeng, kekerangan dan rumput laut. Kemudian pada tahun 1998  mulai dikaji teknologi sistem tertutup dengan proteksi ganda yang melibatkan sterilisasi media dan seleksi/pemilahan benih berkualitas dengan peluang keberhasilan yang sangat tinggi (lebih dari 80%) saat itu. Namun dewasa ini langkah-langkah tersebut sudah tidak menjamin keberhasilan usaha produksi sehingga masih perlu disempurnakan.

Beberapa pendekatan baru mulai dikembangkan walaupun masih memerlukan pengkajian lebih lanjut.  Misalnya saja penerapan probiotik, konsep penyeimbangan C/N rasio dan aplikasi imunostimulan.  Bahkan introduksi spesies baru dari luar negeri seperti udang rostris (Litopenaeus stylirostris) dan udang vaname (L. vannamei) telah pula dilakukan untuk meningkatkan produksi udang dalam negeri.

Titik terang akan pemecahan sederet masalah memang sudah muncul. Misalnya kesadaran terhadap konsep biosecurity, penggunaan benih unggul (high health), sistem budidaya terpadu, best management practices, yang berbasis pada penerapan budidaya ramah lingkungan mulai dianut para petambak sesuai tingkat pemahamannya. Namun tidak sedikit pula yang masih bertahan pada pola lama karena berbagai keterbatasan. Kemajuan di bidang penyakit (manajemen kesehatan hewan akuatik) telah membawa babak baru dalam perkembangan budidaya udang windu. Dewasa ini telah berhasil diidentifikasi berbagai patogen mematikan yang hampir selalu hadir dalam pertambakan udang kita.  Mulai dari penyakit vibriosis (karena Vibrio harveyi), penyakit virus bercak putih/panuan atau systemic ectodhermal mesodhermal bacculo virus (SEMBV), hingga Taura syndrom yang merupakan pendatang dari benua Amerika.  Kesadaran akan wabah penyakit melahirkan sikap lebih berhati­hati para petambak dalam melakukan usaha budidaya udang windu. 

Dengan banyaknya kegagalan dan terus menurunnya produksi tambak udang windu di Indonesia, BBPBAP memandang perlu melakukan evaluasi dan pembaruan terhadap prosedur yang selama ini menjadi pedoman dalam mengelola tambak. Teknologi yang telah dikembangkan dalam tahun-tahun terakhir, dirasa perlu untuk dikompilasi dan diterbitkan dalam satu panduan lengkap yang dapat dipakai acuan  para petambak. Sebetulnya, prosedur ini bukanlah suatu harga mati, karena pada kenyataannya akan ditemui berbagai variasi yang spesifik lokasi/lahan, yang tentu saja membutuhkan kreasi dan kecerdikan dari operator tambak yang menanganinya.  Pada intinya, Standard Operational Procedures (SOP) budidaya udang windu, diharapkan dapat menjadi pendamping dalam melaksanakan budidaya udang windu yang lestari.



II. PENGERTIAN SISTEM TAMBAK DAN FUNGSINYA
Pengelolaan tambak dengan prinsip Best Management Practice (BMP) harus memenuhi kriteria sebagai berikut :

1.    Mendapatkan air pasok yang bebas hama penular dan logam berat yang berbahaya.
2.    Tambak dapat menampung  air dan mempertahankan kedalaman sesuai yang diinginkan (tidak rembes).
3.    Mengeluarkan limbah dengan tingkat sedimen dan bahan organik terlarut yang rendah.
4.    Dapat menjaga keseimbangan proses mikrobiologis.
5.    Menggunakan bahan  kimiawi/obat-obatan yang aman bagi manusia dan lingkungan.
6.    Menebar benih yang sehat.

Untuk memenuhi persyaratan di atas  maka  unit tambak terdiri dari :

1.    Saluran pengairan (sumber air pasok).
2.    Unit tandon (terdiri dari petak karantina, petak pengendapan, petak biofilter).
3.    Petak pemeliharaan.
4.    Petak pengolahan limbah. 

Pembangunan tambak intensif dapat memanfaatkan lahan marginal (tidak termanfaatkan) seperti misalnya rawa-rawa, lahan pasir, lahan parit atau gambut namun disesuaikan dengan konstruksi dasar pematang.
1.    Konstruksi biocrete (campuran semen, ijuk, bambu dan dasar plastik).
2.    Konstruksi plastik PE, Geotextile.
3.    Konstruksi plastik berlapis pasir.
4.    Dasar semen/concrete.
5.    Konstruksi batako/bata merah.
6.    Konstruksi bata putih (kapur gunung).
7.    Konstruksi tanah liat.

3.2. Bentuk Petakan

1.    Bentuk petakan : lingkaran, bujur sangkar atau empat persegi panjang (1: 2).
2.    Memiliki sudut tumpul.
3.    Sisa lahan dengan petakan tidak beraturan dapat dimanfaatkan sebagai tandon.
4.    Dimensi pematang disesuaikan dengan struktur, tekstur  tanah, dan kedalaman air tambak (lebih dari 1.2 m). Memiliki  tabel pasang surut dan gambaran pasang surut lokal. Lebar atas minimal 3,5 m untuk pematang utama.
5.    Dimensi saluran : mempertimbangkan kebutuhan air, fenomena pasang surut lokal dan simpangan waktu.
6.    Peletakan sarana listrik tertata rapi

Tolok Ukur Pekerjaan :
1.    Tidak ada titik mati di dalam tambak.
2.    Efektif       dan efisien dalam hal abtara lain penggunaan lahan, penggunaan kincir, penanganan.
3.    Pematang memiliki aksesibilitas terhadap kendaraan roda 4.
4.    Tersedia air yang cukup pada kondisi pasang surut minimal.
5.    Jaminan keamanan dan keselamatan kerja tinggi.

Untuk memenuhi persyaratan tersebut maka bentuk tambak yang mudah mengeluarkan  imbahnya adalah tambak lingkaran atau  bujur sangkar  dengan sudut melengkung.  Namun pada prinsipnya, proses pengendapan limbah pada salah satu wilayah kecil di tambak harus dapat dilakukan dengan manipulasi saluran tengah, kolam tengah di dalam tambak dan yang paling berperan adalah peletakan kincir air  tunggal atau berangkai.

3.3. Peran dan Bentuk Saluran Pembuangan


3.4. Pintu panen dan pengeluaran lapisan air
3.5. Caren (Peripheral canal)

Pada umumnya caren hanya berfungsi pada saat panen. Namun kini caren tengah juga sangat banyak manfaatnya dalam mengendapkan dan menampung limbah untuk selanjutnya dihisap dengan pompa alcon (pompa centrifugal bermesin) dengan diameter  selang dan alat 2 inch.
1.    Diperlukan pada saat persiapan untuk tambak yang memiliki masalah rembesan atau sulit dikeringkan.
2.    Luas dan kedalaman disesuaikan dengan tingkat perembesan dan kemampuan pompa.
3.    Bila dimanfaatkan untuk memudahkan panen, jaraknya 5 m dari kaki pematang, miring ke arah pintu panen.

Tolok Ukur Pekerjaan :
1.    Pelataran kering.
2.    Saat panen, udang dapat mengumpul di caren dan mengarah ke pintu panen.

3.6. Penempatan  kincir, pengaturan arah kincir dan  caren internal

3.7. Sumber Tenaga Listrik
Sumber tenaga listrik untuk budidaya udang intensif harus mampu memenuhi  kebutuhan listrik untuk mengoperasionalkan  pompa air, blower, kincir air, penerangan dan peralatan lainnya yang menggunakan sumber tenaga listrik. Sumber tenaga listrik ini  bisa dipenuhi dari dua sumber yaitu listrik dari PLN (Perusahaan Listrik Negara) dan atau dari genset. Untuk budidaya udang intensif sebaiknya mempunyai kedua sumber listrik tersebut. Satu unit generator pembangkit listrik harus selalu siap pakai saat terjadi gangguan listrik dari PLN.

Tolok ukur pekerjaan :
Tersedia listrik 125 % dari kapasitas seluruh kincir air yang diperlukan dalam jumlah terbanyak pada akhir masa pemeliharaan.

3.8. Peralatan Monitoring Kualitas Air
Peralatan monitoring kualitas air, penting untuk dimiliiki dalam usaha budidaya udang secara intensif. Peralatan ini harus ada agar kualitas air di tambak dapat dimonitor setiap saat dan dipertahankan pada kisaran optimum untuk pertumbuhan dan perkembangan udang. Peralatan tersebut antara lain termometer (pengukur suhu), refraktometer atau salinometer (pengukur salinitas), DO meter (pengukur oksigen terlarut), pH meter, dan secchi disk (pengukur kecerahan air), dan alat test kit, seperti untuk analisa alkalinitas, Nitrit dan Nitrat. .


IV. PERSIAPAN TAMBAK
Persiapan tambak bertujuan untuk  meningkatkan kualitas lingkungan, dan produktivitas lahan, dengan mengeliminir faktor-faktor yang tidak mendukung kelangsungan hidup udang dan mengoptimalkan beberapa faktor yang memberikan dukungan bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang. Uraian kegiatan ini mencakup perkerjaan   konstruksi secara umum,  persiapan dasar tambak dan persiapan air, yang akan diuraikan dalam petunjuk berikut ini:

4.1. Konstruksi
Konstruksi tambak yang ideal dapat mendukung  budidaya udang bisa dilaksanakan dengan sempurna dan efisien, yakni ; mampu menahan air, mampu membuang air limbah, mampu memelihara kualitas air,  dan tambak dapat dikeringkan dengan mudah dan sempurna. Namun demikian sering kali konstruksi tambak tidak atau kurang sempurna, seperti adanya bocoran dari samping tambak, infiltrasi (rembesan air masuk), pintu air tambak kurang baik dan elevasi dasar tambak tidak ideal. Apabila konstruksi tambak tidak ideal maka langkah-langkah dan solusi yang harus dilakukan sebagai berikut.

4.1.1.   Penutupan bocoran
Penutupan bocoran pada pematang dapat dilakukan  dengan memasang kasa atau waring ukuran mata jaring (mesh size) 1,0 mm dan atau  ijuk (untuk jangka panjang lebih baik). Alternatif penyumbatan  dapat dilakukan  dengan menggunakan  kerai bambu, gedek bambu dilapis aspal pasir. Bila kondisi bocoran begitu berat, disarankan untuk memakai konstruksi lapisan plastik Geotextile, plastik PEBC (Poly Ethylen Biphenil Chloride), bata plesteran, batako, batu kumbung, plengsengan beton, dan pasangan batu.

Tolok ukur pekerjaan :
Pekerjaan berhasil bila tidak ada lagi bocoran atau maksimum kehilangan air 5%/hari pada bulan pertama dan 2%/hari pada bulan kedua hingga panen.

4.1.2. Rembesan masuk
Bila tambak rembes atau sangat porous maka dilakukan perbaikan konstruksi dasar tambak sebagai berikut :

a.
Dilapisi dengan tanah yang didominasi liat  melebihi 50%, sedalam

minimal 20 cm.
b.
Dilapisi plastik poliethylene 0,2 mm dan diatasnya dilapisi pasir 5 –

10 cm
c.
Plester dasar (teknik plester pakai sistem blok)
d.
Untuk elevasi dasar tambak yang lebih rendah dari permukaan air

laut, maka solusinya dengan cara menimbun dasar tambak 
atau

membuat pematang di saluran keliling yang kedap air.

4.1.3. Sistim pembuangan
Memastikan air dapat dikeluarkan dengan sempurna, lumpur tidak mengendap di pipa dan  kotoran (limbah organik) dapat dikurangi, dengan cara :
1.    Monik, dapat mengeluarkan air sesuai pada kolom atau lapisan yang diuinginkan,
2.    Monik harus dirancang agar  dapat digunakan untuk panen sistem kantong dengan dinding di depan monik harus diperkuat agar tahan terhadap terjangan air,
3.    Mampu atau terdapat sarana untuk melakukan pembuangan setiap 2 jam setelah pemberian pakan melalui sentral drain dan kolom air melalui pintu air atau PVC,
4.    Sentral drain harus memiliki saringan yang sesuai dengan ukuran udang.

Tolok Ukur Pekerjaan :
Mampu mengeluarkan air sesuai dengan kebutuhan.

4.1.4. Elevasi dasar petakan, saluran pembuangan, dan tendon
Dalam pengupasan tanah dasar, elevasi dikembalikan seperti semula.
1.    Dasar petakan diatur miring kearah pembuangan dengan slope minimal 0,2%.
2.    Beda elevasi dasar antara petakan pemeliharaan dan saluran pembuangan minimal  25 cm, sedangkan elevasi tandon lebih tinggi dari saluran tapi lebih rendah dari petak pemeliharaan. Bila elevasi tidak sesuai maka untuk pengeringan gunakan pompa air.
3.    Saluran pembuangan dapat dikeduk beberapa kali selama pemeliharaan untuk menghindari pendangkalan oleh kotoran tambak.
4.    Dalam pengupasan tanah dasar, elevasi dikembalikan seperti semula.

Tolok Ukur Pekerjaan;
Air di petak pemeliharaan dapat terbuang hingga kering.

4.1.5. Rasio luas tandon : petakan pemeliharaan
Volume air yang tersedia dalam tandon memenuhi syarat minimum kebutuhan air/hari dan pergantian air maksimum pada masa kritis (yaitu 30% dari total volume  tambak yang beroperasional) sehingga  air yang siap pakai dalam 1 hari harus mencapai 30 % dari areal. Sedangkan untuk petak pengendapan dan penyerapan nutrient (petak pengolah limbah), dan petak treatment awal memerlukuan areal tambahan  sekitar 20 %.

Tolok Ukur Pekerjaan;
Kualitas air tandon harus lebih baik daripada air di petak pemeliharaan.

4.2. Tanah dasar
Tanah dasar tambak harus dalam kondisi yang sesuai untuk kehidupan dan pertumbuhan udang. Hal ini karena sebagian besar waktu hidup dan mencari makan udang berada di tanah dasar tambak. Oleh karena itu perlu melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut.

4.2.1. Pengeringan
Pengeringan tanah dasar tambak bertujuan untuk :
1.    Pengatusan (drainage)
2.    Penjemuran agar gas-gas sisa metabolit  dapat menguap.

Tolok Ukur Pekerjaan :
1.    Kadar air setelah pengatusan mencapai batas lekat (20 - 50%).
2.    Kadar air setelah penjemuran kurang dari 20%.

4.2.2. Pengupasan
Pengupasan dasar tambak penting untuk dilaksanakan, terutama untuk tambak-tambak yang sudah sering digunakan untuk pmeliharaan udang atau ikan secara intensif.
1.    Dilakukan terhadap bahan endapan yang dapat dibedakan dari warna, tekstur, bau, dll.
2.    Dilakukan pada keadaan lumpur mulai pecah-pecah, kecuali pada tambak dengan dasar keras atau dilapisi pasir.
3.    Bahan terkupas  dipindahkan  ke area  pengurusan tanah.

Tolok Ukur Pekerjaan;
Profil sedimen homogen,  warna tanah kecoklatan dan  tidak berbau.

4.2.3. Pengolahan tanah dasar
Pengolahan tanah dasar tambak meliputi kegiatan :
1.    Pembalikan tanah dasar bila profil telah homogen untuk menyempurnakan proses oksidasi dalam tanah
2.    Pengapuran bila pH tanah kurang dari 6,0 dengan dosis sesuai
3.    Pemupukan menggunakan pupuk organik yang telah diolah, dengan dosis bergantung kesuburan tanah.
4.    Untuk tanah pyrit (reduksi sulfat)  dilakukan pencucian dan    pengatusan berulang-ulang atau reklamasi tanah dasar dengan  ketebalan 10 - 20 cm dan pemberian pupuk organik pada saat  tanah masih basah, kemudian pematang dikapur.

Tolok Ukur Pekerjaan;
1.    Tanah menjadi gembur.
2.    pH meningkat menjadi lebih dari 6.
3.    Bahan organik tanah 5 - 10%.
4.    Potensi redoks > -50mV.
5.    Pertumbuhan fitoplankton stabil.
6.    Untuk tanah pyrit tidak terjadi penurunan pH air dan air tidak bereaksi merah.

Pengapuran berdasarkan kondisi pH tanah
pH Tanah
CaCO3
 Ca (OH)2
 CaMgCO3
> 6
< 1000
< 750
< 920
5 – 6
< 2000
< 1000
< 1840
< 5
< 3000
< 1500
< 2760

Keterangan: CaCO3 (kapur pertanian), Ca(OH)2 (kapur tohor/gamping), CaMgCO3 (dolomit)

4.3. Air
Air merupakan media hidup udang, yang di dalamnya terdapat kandungan oksigen terlarut untuk pernafasannya, makanan dan sumber beberapa mineral bagi udang. Oleh karena itu air yang akan digunakan untuk  budidaya udang harus disiapkan agar memenuhi standar kebutuhan tersebut. Beberapa kegiatan yang harus diperhatikan dalam penyediaan air yang berkualitas adalah sebagai berikut.

4.3.1. Air masuk/air pasok
Hal-hal penting yang harus diperhatikan tentang air masuk adalah :
1.    Pilih lokasi pengambilan air.
2.    Tentukan waktu pengambilan.

Tolok ukur pekerjaan;
Air yang diambil memenuhi syarat mutu dan jumlah (kualitas & kuantitas). Untuk syarat kaulitas air dapat dilihat pada Tabel di bawah ini;

Parameter
Kisaran
Salinitas pH Alkalinitas Nitrit Nitrat Amonia Suspensi terlarut (TSS)
10 – 35 ppt 7,5 – 8,5 90 – 150 ppm CaCO3 < 0,1 ppm < 1,0 ppm < 0,1 ppm < 80 ppm


Selain persyaratan kimiawi dan fisik tersebut, air yang akan digunakan untuk budidaya udang harus bersih dari bahan polutan, (seperti dari  jenis logam, pestisida dan  bahan kimia beracun lainnya), serta air sumber tidak keruh.

4.3.2. Pengendapan
1.    Memberikan tenggang waktu tertentu sesuai dengan jumlah dan mutu air mentah.
2.    Membuat rancangan atau desain            untuk memperbesar peluang proses pengendapan.

Tolok Ukur Pekerjaan :
1.    Kadar partikel (TSS) dalam air turun hingga kurang dari  60 ppm.
2.    Air tersedia dalam jumlah yang cukup untuk memasok kebutuhan tambak.

4.3.3. Pemberantasan hama dan atau sterilisasi air
Kegiatan-kegiatan yang harus dilaksanakan pada tahap ini adalah:
1.    Menyaring air yang masuk menggunakan kasa kelambu pada mulut pipa pemasukan.  Kasa kelambu harus dijahit rangkap dan diperkuat dengan papan penyangga (Splashing board) atau kotak penyangga  (holding box).
2.    Air baru dimasukkan ke dalam petak treatment.           Atau air dapat disaring dengan kantung saringan halus (Plankton net/kasa sablon ukuran 160 mikron) dengan diameter 50 cm  sepanjang 4 – 5 m.
3.    Menggunakan bahan  krustasida yang memiliki daya reaksi yang kuat, dan cepat netral, contoh: Trichlorfon (a.l Dyvon 1 ppm dan Dipterex 2 ppm) atau Dichlorfon (a.l. Saprovon dengan dosis 0.8 – 1 ppm). Untuk menetralkan dari pengaruh bahan-bahan tersebut diperlukan 5 – 7 hari.
4.    bahan disinfektan Calsium hypochloride (kaporit), 15 - 30 ppm, pada wilayah dengan tingkat wabah penyakit yang tinggi. Untuk menetralkan dari pengaruh bahan tersebut diperlukan 1 – 3 hari.

Tolok Ukur Pekerjaan
1.    Bau khas desinfektan pada saat perlakuan.
2.    Populasi bakteri dan hama moluska  menurun.
3.    Virion (partikel virus DNA-RNA) negatif.
4.    Pada akhir proses penetralan sudah tidak tercium bau khas esinfektan.

4.3.4. Pengendalian penyakit dan hama melalui penanganan suatu   kawasan
Petambak udang idealnya merupakan anggota sebuah  kelompok tambak dalam sebuah kawasan yang memiliki salah satu atau beberapa persyaratan berikut:

a.
memiliki persamaan sistem permodalan.
b.
memiliki persamaan sistem teknologi (semuanya sederhana, semi 

  atau intensif).
c.
memiliki persamaan musim tebar.
d.
memiliki persamaan jenis udang yang dipelihara.
e.
dan yang terbaik, bersama dalam suatu wilayah pengairan.

Persamaan kepentingan dalam suatu wilayah akan berpengaruh erat pada kemudahan pengendalian penyakit.

Penyakit virus yang mematikan udang windu dapat dengan mudah menular dari sebuah tambak ketambak lain yang bersisian, berbatasan pematang dan atau memiliki saluran pembuangan atau pemasukan yang sama. Dalam banyak kasus, tambak udang yang sehat akan mengalami kematian massal oleh penyakit yang sama hanya dua atau tiga hari setelah sebuah tambak dipanen prematur akibat serangan penyakit.

Pembentukan sebuah zonasi yang dikelilingan oleh saluran/tambak pinggir yang berisi ikan ikanan (mujair/bandeng/kakap atau campuran) akan melindungi tambak udang tertular dari saluran yang menerima limbah tambak berpenyakit. Saluran ikan akan secara fisik dan biologis menjaga intrusi partikel virus secara langsung pada tambak udang yang sehat sehingga akan terhindar dari rangkaian kematian yang tidak diinginkan.

Secara diagramatik dapat dilihat pada Gambar 9 di bawah. Sebuah kawasan pertambakan dibagi dua kelompok dan masing masing kelompok dikelilingi oleh saluran sekunder yang sengaja diisi ikan dalam jumlah yang cukup padat dan bernilai ekonomis.

4.3.5. Pengapuran air awal
Diberikan kapur dari jenis Ca (CO3)2 dengan dosis yang sesuai  nilai pH dan alkalinitas air.
Tolok Ukur Pekerjaan :
1.    Alkalinitas air dengan kisaran nilai 100 – 150 ppm (diawal penebaran).
2.    Kisaran pH harian berkisar antara 7,5 – 8,3.
3.    Fluktuasi pH harian kurang dari 0,5.

4.3.6. Pemupukan & inokulasi plankton
Pemberian pupuk sesuai kebutuhan spesifik lokasi.
1.    Pemupukan hendaknya dilakukan secepat mungkin setelah desinfektan netral.
2.    Pemupukan standar adalah 3 – 5 ppm dengan rasio N : P = 2:1,  atau tergantung kandungan N dan P, serta mikronutrien di tambak.
3.    Pemupukan susulan dilakukan 2 ppm dengan rasio yang sama.
4.    Inokulan dapat diberikan satu hari setelah pemupukan, berupa biomas fitoplankton dengan target kepadatan awal 8.000 – 10.000 sel/ml, pada pukul 09.00 sampai 13.00 atau kecerahan 40 –  50 cm.
5.    Jenis inokulan adalah Chlorella murni, Skeletonema murni atau campuran keduanya.
6.    Alternatif yang lain adalah : Nanochloropsis, Chaetoceros, Tetraselmis dan Dunaliella.

Teknik Alternatif :  
1.    Aplkasi krustasida misalnya Dyvon atau Saprovon 1 ppm dan piscicida (saponin 15 ppm) pada sebuah petak/saluran yang dibendung.
2.    Selanjutnya pada hari ketiga dipupuk  anorganik dengan dosis  5 ppm.
3.    Setelah krustasida netral (5 – 6 hari), plankton di tandon/saluran ini akan tumbuh pekat dan dapat dipakai sebagai inokulant (bibit) di petak pembesaran dan petak penampungan air siap pakai.
4.    Setelah inokulasi, kincir dihidupkan.

Tolok Ukur Pekerjaan;
1.    kecerahan pada hari kedua mencapai kurang dari 70 cm dan cenderung menurun pada hari berikutnya.
2.    Ada perubahan warna dari jernih menjadi hijau, coklat atau hijau kecoklatan.
3.    Kondisi tersebut konstan selama lebih dari 3 hari.

Alternatif Solusi :
1.    Menggunakan  saponin 15 ppm dan dedak halus 5 ppm yang telah difermentasi, air fermentasi diisi dan dipakai kembali hingga 3 hari.
2.    Menggunakan pupuk organik (kotoran ayam) dengan dosis 300 kg/ha setelah melalui proses fermentasi probitik (menggunakan hasil fermentasi).
3.    Atau menggunakan keduanya (a dan b) digabungkan.

4.3.7. Sistem biofiltrasi
Biofiltrasi adalah sistem penyaringan air dengan menggunakan jasad hidup baik berupa hewani maupun nabati, sehingga air menjadi relatif bersih dari organisme yang tidak dikehendaki dan bersih dari unsur-unsur yang beracun bagi kultivan (udang). Sistem biofiltrasi ini dilakukan dengan cara :
1.    Memelihara jenis-jenis ikan predator, sebagai bioscreening, (contoh: keting, kerong-kerong, kakap, payus, wering, petek dsb) di dalam petak treatment.
2.    Memanfaatkan tanaman bakau (biofilter) sebagai penyerap residu logam berat dan pestisida (inlet & outlet) atau petak UPL.
3.    Memanfaatkan rumput laut sebagai penyerap nutrient dan sumber vitamin alami (inlet & outlet) awal, seluas  20 % wilayah tandon.

Tolok Ukur Pekerjaan:
1.    Air bebas hama penular (carier).
2.    Populasi hama penular tidak melimpah didalam tambak.
3.    Kandungan logam berat, seperti Pb kurang dari 1,16  ppm, Hg kurang dari 0,17 ppm, Cu kurang dari 0,006 ppm dan Cd kurang dari 0,33 ppm.

4.3.8. Biosecurity (keamanan dari kontaminasi)
Konsep biosecurity biasanya diterapkan pada  instalasi karantina atau instalasi produksi pemurnian kultur jaringan.  Dewasa ini, aturan internasional menerapkan konsep ini di dalam proses produksi udang/ikan.  Hal-hal yang diterapkan (Gambar 10)  antara lain :
1.    Seluruh lingkaran luar unit usaha diberi pagar untuk mencegah hewan masuk ke dalam unit tambak (fencing).
2.    Air pasok       dipompa masuk ke  petak tandon, disaring menggunakakan kantung plankton net dengan diameter 50 cm sepanjang 4 – 5 m sebanyak 3 – 5 buah di atur paralel agar tidak mudah robek.
3.    Saluran keliling  dilapisi kain kasa (waring) untuk menjamin tidak adanya organisme lain yang masuk atau  keluar.
4.    Roda kendaraan yang mungkin telah berjalan di atas pematang tambak lain harus melalui dua kolam : kolam pembersihan dan kolam disinfeksi untuk menghindari adanya kontaminasi.
5.    Peralatan panen, jala, ember, pompa dan kincir bahkan pekerja selalu diberi disinfektan pada saat baru dikeluarkan atau akan dipakai di salah satu tambak.

4.3.9. Keamanan bagi konsumen
Udang merupakan komoditas ekspor dengan negara negara maju (jepang, EU, dan Amerika Utara sebagai konsumen).  Posisi negara maju sebagai importir akan tetap bertahan karena mereka berada di wilayah sub tropis yang tidak memungkinkan untuk membudidayakan udang penaeid yang secara komersil. Keharusan sebuah negara untuk melindungi dan membiayai kesehatan masyarakatnya menyebabkan perhatian pada kualitas makananan  yang diimpor negara ini akan menjadi tinggi.  Udang yang diekspor ke luar negeri tidak boleh mengandung zat berbahaya seperti hormon, penyakit manusia, antibiotika, logam berat, karsinogenik serta  senyawa beracun dan akumulatif.

Ditolaknya udang beku Indonesia oleh EU dengan alasan terdeteksinya residu antibiotika telah terjadi sejak tahun 2000 hingga 2007. Peningkatan permintaan udang asal Indonesia yang tidak  terkena isu anti dumping ternyata tidak bisa dipenuhi negara ini karena banyaknya kendala kualitas seperti ini selain penurunan produksi akibat serangan penyakit berjenis jenis virus.

Antibiotika berdasarkan hasil analisis BBPBAP Jepara  sejak tahun 2002 terbukti berasal dari kandungan bahan ini dalam pakan komersil yang dipakai para petambak  tanpa mereka sadari. Hingga awal Tahun 2007 penanggung resiko ditemukannya residu antibiotika adalah pihak cold storage  namun sejak diterapkannya pengwasan yang lebih ketat, residu antibiotika akan mulai bisa terdeteksi dari pabrik pakan  dan petambak pengguna pakan tersebut sehingga cold storage dapat menolak produk mereka.

Produk udang hasil tambak  seringkali dipanen segar dan diekspor dalam kondisi beku untuk mempertahankan rasa dan warnanya.  Petambak Indonesia masih belum terbiasa pada sistem sanitasi domestik dalam arti mencegah kontaminasi asal manusia pada media dan udang yang dipelihatra. Pertambakan harus memiliki WC yang berjarak jauh dari sistim produksi dan dilengkapi dengan sabun cuci tangan antiseptik.  Seluruh WC harus memiliki septik tank kedap agar bakteri E coli tidak dapat terdeteksi di sungai, air tambak dan udang yang dipelihara manusia.  Bakteri  E coli sendiri tidak terlalu berbahaya pada kesehatan manusia  namun adanya E coli menunjukkan adanya peluang jenis penyakit manusia lain juga hadir. Penyakit menular yang dikhawatirkan dapat ditemukan di udang beku bersama pencemaran e coli adalah jenis penyakit diare (Amoeba, virus Eltor) dan penyakit virus hepatitis, campak dan polio.

Dimasa mendatang kondisi pencemaran mikrobiologis manusia dan udang akan berkurang dengan meningkatnya permintaan impor udang matang (direbus 15 detik) langsung dibekukan.  Namun bila sanitasi lingkungan belum terbiasa dilakukan, resiko pencemaran dan ditolaknya produk Indonesia  akan tetap terjadi dan berdampak buruk pada produktivitas dan harga jual udang ditingkat petambak.

V. PEMILIHAN, TRANSPORTASI DAN PENEBARAN BENIH
Keberhasilan dalam kegiatan budidaya tambak tidak terlepas dari kualitas benih yang ditebar. Tersedianya benih udang tepat jenis, tepat jumlah, tepat waktu, tepat mutu dan tepat harga tidak hanya mampu menghasilkan produksi maksimal tetapi juga akan menjamin kontinyuitas produksi di tambak. Namun demikian, benih merupakan masalah utama di Indonesia karena masih sedikit panti pembenihan (hatchery) yang mau menerapkan sistem yang  terkontrol terhadap kemungkinan adanya kontaminasi atau terjadinya  infeksi virus yang berbahaya (misal : WSSV).  Sebagai petambak, benih harus dipilih dengan cermat bahkan harus melewati beberapa tahapan pengujian.

Mengingat arti pentingnya benur, maka langkah awal pemilihan benur untuk memperoleh kualitas yang prima akan menentukan keberhasilan kegiatan budidaya di tambak. Penebaran dengan benur yang berkualitas prima berarti salah satu langkah penting sudah terlaksana dengan baik. Kualitas benur terutama dari panti pembenihan sangat bergantung oleh manajemen atau penanganan pada saat pemeliharaan larva sampai menjadi post larva yang siap dijual kepada para petani, demikian pula termasuk bagaimana penanganan saat panen, cara pengangkutan dan lama waktu pengangkutan benur tersebut sampai ke lokasi tambak. Bagaimana prosedur pemilihan benih yang memenuhi standar, maka dapat dilihat pada uraian berikut ini.

5.1. Pemilihan benih
5.1.1. Penentuan panti pembenihan udang
1.    Menentukan pembenihan yang telah bersertifikat dan  melaksanakan uji PCR terhadap induk udang windu yang dipakai  dan benih yang akan dijual.
2.    Menentukan pembenihan yang tidak menggunakan pakan yang bersifat karier penyakit untuk pakan induknya seperti kepiting, rajungan, dan  udang mentah, serta bebas antibiotik yang berbahaya.
3.    Menentukan pembenihan yang telah menerapkan konsep biosekuriti.
4.    Memilih pembenihan yang mencuci dan memilah sebagian  benih yang dijualnya dengan formalin 200 ppm selama 30 menit.
5.    Memilih pembenihan yang menerapkan SNI Pembenihan Udang windu.

51.2. Pemilihan benih
1.    Benih yang layak tebar  telah mencapai ukuran PL12
2.    Kepadatan benih di bak relatif konstan mulai  PL8 - PL12.
3.    Benih abnormal secara visual  kurang  1 % dari populasi.

Pada stadia PL10, benih lolos uji salinitas :   
1.    100 ekor PL direndam dalam air tawar.
2.    15 menit kemudian seluruh udang dikembalikan pada air semula.
3.    amati hingga 15 menit dan dihitung persentase udang yang hidup.
4.    bila lebih dari 20 % populasi udang mati, pilih benih dari bak lain.
 
Kelompok benih yang terpilih melalui uji salinitas  selanjutnya diuji dengan perendaman formalin dengan bahan aktif  37 % formaldehyde (p.a) 200 ppm dengan cara :
1.    Minimum 100 ekor PL yang baru ditangkap dimasukkan kedalam ember/toples  yang diberi aerasi lalu ditetesi formalin 200 ppm.
2.    Setelah 30 menit,  air diputar  dan hitung udang yang stress dan mati.
3.    Bila jumlah udang yang mati lebih dari 5 % benih tidak dipilih.

5.1.3. Persyaratan kualitatif benih yang dapat dilihat dan diuji 
1.    Warna : warna tubuh transparan, kecoklatan atau kehitaman, punggung tidak berwarna keputihan atau kemerahan.
2.    Gerakan : gerakan berenang aktip, menentang atau menyongsong arus, cenderung mendekat ke arah cahaya (fototaksis positif).
3.    Kesehatan dan kondisi tubuh : kondisi tubuh benur yang sehat setelah mencapai ukuran PL 10 organ-organ tubuhnya lengkap, maxilla, mandibulla, antenulla dan ekor membuka, hepato pancreas transparan, usus penuh dan gelap.
4.    Responsif terhadap rangsangan : benur akan menjentik menjauh dengan adanya kejutan atau jika wadah sampel benur diketuk, dan akan berenang mendekati sumber cahaya jika ada rangsangan cahaya, serta responsip terhadap pakan yang diberikan.

5.1.4. Persyaratan  kuantitatif
Persyaratan kuantitatif  benur  udang windu (Penaeus monodon Fabricius) kelas benih sebar (PL15) seperti pada Tabel 3 berikut :

Tabel 3 Kriteria kuatitatif benur udang windu
No
Kriteria Kuantitatif
Nilai
1
Umur dari telur (hari)
20 –22
2
Panjang (mm)
10.5 - 11.0
3
Berat (mg)
2.24 - 2.44
4
Kesehatan/bebas penyakit (%)
> 70
5
Keseragaman populasi (%)
> 80
6
Daya tahan (%) terhadap: • penurunan salinitas 30 0 ppt • perendaman formalin 200 ppm
> 80 > 90
7
Rangsangan terhadap cahaya dan aerasi 
Positif

5.1.5. Panen dan pengemasan
1.    Benih yang telah terpilih dipastikan telah mendapat tambahan artemia 4 jam sebelum panen dilakukan.
2.    Benih diberi pakan pada saat air diturunkan.
3.    Dasar bak dipastikan telah disifon sebelum benih dipanen.
4.    Pemanenan harus dilakukan tidak pada saat benih akan/saat  molting (catat jam molting sebelumnya).
5.    Benih ditampung pada wadah yang berisi air dengan salinitas, pH dan suhu yang sama dengan air di bak, atau melalui pencampuran air steril baru 1 : 1

5.2. Transportasi.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam transportasi  benih adalah sebagai berikut (Tabel 4) :
Tabel 4. Perhitungan teknik transportasi PL udang windu yang  direkomendasikan
Jarak tempuh
Air bak : Air baru steril
Volume Air : Oksigen
Kepadatan (ekor/ liter)
Temperatur
<4 jam="" span="">
Air bak pemeliharaan
60 : 40
1.500
Alami, sejuk
8 – 12 jam
1 : 1
50 : 50
1.000
22 – 24o C
12 – 20 jam
Seluruhnya air baru
50 : 50
750 – 1.000
22o C

Transportasi benih harus dilakukan dalam kondisi sejuk (sering dipilih malam hari) atau dalam kendaraan yang berpenutup dan berventilasi baik.

5.3. Penebaran benih.
Benih yang akan ditebar harus memenuhi kriteria kondisi benih dan kualitas air transportasi telah sesuai dengan air tambak, agar hasilnya lebih memuaskan.

5.3.1. Kesiapan Tambak.
1.    Harus dipastikan air telah netral dari pengaruh krustasida (Dyvon, Dipterex atau Saprovon)  kurang lebih telah mencapai hari ke 6.
2.    Bebas atau minim dari residu klorin terlarut (maksimum 0.5 ppm klorin bebas).
3.    Harus memiliki oksigen terlarut minimum 4 ppm, selisih salinitas air di panti pembenihan dan air di tambak kurang dari 5 permil, tidak terjadi stratifikasi/perlapisan salinitas dan suhu. Stratifikasi air bisa dicegah dengan mengoperasikan aerator dalam jumlah optimum.
4.    Sedapat mungkin telah memiliki populasi fitoplankton yang cukup (kecerahan 40 – 50 cm).
5.    Untuk menghindari pertumbuhan Dinoflagellata  air yang  telah dipersiapkan di ukur rasio N : P. Bila rasio N : P =  15 : 1 (terlalu tinggi)  maka harus dipupuk dengan  pupuk fosfat (P2O5 ) agar rasio kurang dari 10 : 1. pada tingkat P total (eq  orthofosfat) minimal 0.1 ppm.
6.    Tidak ada ikan penyaing dan pemangsa (misal melalui aplikasi saponin 3 hari sebelum penebaran; dengan dosis 15 ppm).
7.    Siapkan salah satu sudut yang diberi penyekat bambu agar wadah benur mengumpul, atau melalui hapa transisi untuk penebaran.


5.3.2. Persiapan adaptasi benih di tambak.
Pada saat benih sampai ditambak tempat penebaran, beberapa plastik pembungkus  benih harus diambil untuk diperiksa kondisinya :
1.    Benih pada saat dibuka dari plastik masih menunjukkan aktivitas yang normal.
2.    Pada transportasi dingin (jarak jauh) benih pada saat baru dibuka biasanya masih tidak aktif.
3.    Pilih plastik-plastik yang bocor dan atau berair keruh karena benih yang berada di dalamnya hampir selalu lemah dan sebaiknya tidak usah ditebar (kecuali masih bergerak normal).
4.    Adaptasikan suhu, salinitas dan pH air transportasi    dengan air tambak dengan cara mengapungkan plastik (adaptasi suhu) dan mencampurkan sebagian air tambak ke dalam plastik-plastik sedikit demi sedikit yang telah dibuka (adaptasi salinitas dan pH air) (Gambar 12).
5.    Hindari menjemur plastik tertutup lebih dari 30 menit  walaupun plastik terletak di dalam air karena temperatur dalam plastik akan meningkat drastis dan membunuh benih yang belum ditebar.
6.    Hitung tenaga penebar benih karena dalam 30 menit seseorang hanya mampu mengadaptasikan 8 - 12 kantung plastik dengan hati-hati.

Penebaran benih dilakukan dengan menempatkan kantong di pojok tambak dan ditahan dengan bambu untuk menahan agar tidak arus. Penebaran dilakukan pada pagi atau sore hari untuk menghindari stress.

VI. MANAJEMEN AIR DAN LUMPUR.
Pengelolaan  air dan lumpur dasar tambak  pada prinsipnya  adalah usaha untuk mempertahankan kualitas lingkungan tambak, meliputi air dan lumpur dasar pada kisaran nilai parameter yang layak serta menekan terjadinya fluktusi lingkungan yang tinggi. Dengan demikian  kehidupan dan pertumbuhan udang yang dipelihara  dapat tumbuh maksimal dengan energi  dan input nutrisi yang minimal.

Udang yang dipelihara dalam tambak akan melepaskan sisa hasil metabolismenya  ke kolom air, dan  sisa pakan yang tidak termakan akan mencemari tambak. Seluruh bahan organik tersebut  akan menimbulkan polusi yang ditandai  dengan terjadinya stress, pertumbuhan yang lambat, kehilangan nafsu makan, serangan penyakit dan bahkan kematian sebagian atau  massal. Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan teknik manajemen air dan lumpur dasar tambak. 

6.1. Pengisian air.
Pengisian air pada   tambak udang intensif ramah lingkungan pada masa pemeliharaan, baik air baru maupun air dalam proses resirkulasi harus melalui petak biofilter. Petak ini berisi ikan karnivora dan herbivora. Ikan karnivora berperan untuk mengurangi resiko masuknya hama penular yang terinfeksi virus, seperti udang-udang liar. Ikan hervibora dapat mengendalikan kepadatan plankton atau tanaman air lainnya. Petak biofilter juga berisi tanaman atau tumbuhan air yang berfungsi untuk menyerap nutrien hasil perombakan bahan organik.

6.2. Penggantian air.
Pergantian air dilakukan bila telah terjadi penurunan parameter kualitas air tambak. Secara visual dapat dilihat dari perubahan warna air menjadi jernih dan terdapat suspensi dalam air akibat kematian plankton (Tabel 5). Perubahan ini juga ditandai banyaknya buih relatif besar (lebih dari 2 cm) dan  tidak pecah pada jarak 6 m dari kincir. Sedangkan indikasi  kimiawi terlihat dari  kandungan bahan organik yang tinggi (lebih dari 60 ppm) dan BOD yang lebih dari 10 ppm.

Tanda-tanda  penurunan kualitas air  terlihat dari :
1.    Nafsu makan menurun (sisa pakan di anco > 20 % dari normal).
2.    Populasi total bakteri  > 10 6 CFU/ ml.
3.    Populasi Total Vibrio > 10 3 CFU/ ml.
4.    Ekor udang banyak yang berwarna merah (red  discoloration).
5.    Banyak partikel plankton mati di kolom air.

Proses pergantian air dilakukan  dengan cermat sehingga tidak terjadi perubahan kualitas air secara mendadak atau dratis terutama perubahan salinitas. Hal ini  untuk  mengurangi stress pada udang. Perubahan salinitas air tambak akibat pergantian air tidak boleh melebihi 3 ppt  per hari. Untuk menghindari perubahan salinitas yang drastis pada saat terjadi hujan  dengan cara menghidupkan kincir (untuk pengadukan).

Teknik pergantian air dengan cara membuang air yang banyak mengandung kotoran atau lumpur organik terutama pada bagian dasar tambak. Oleh karena itu desain pintu pembuangan dan konstruksi tambak dibuat agar dapat membuang air bagian dasar atau lumpur dasar maupun air bagian atas. Pembuangan kotoran atau lumpur dasar dapat juga dilakukan dengan penyiponan. Penambahan air untuk mengganti air dalam petakan tambak sampai pada ketinggian air yang ditentukan menggunakan air dari petak biofilter.
Jumlah pemutaran/pergantian air dari tandon ikan ke petak pembesaran udang dengan kepadatan 30 – 50 ekor/m2,  diatur sebagai berikut :

Bulan 1
:
5 - 10%, setiap 15 hari.
Bulan 2
:
5 – 10 % setiap  7 – 10 hari.
Bulan 3
:
10 – 15%
setiap 7 hari.
Bulan 4
:
15 - 30 % setiap 3 – 5 hari.

Tabel 5. Kriteria dan kategori kualitas air tambak secara fisik-kimiawi


Parameter kualitas air
Saat Penebaran
Air di petak ikan/ reservoir
Pertengahan dan akhir pemeliharaan
Air pem­buangan
Suhu (oC)
26 – 29
27 – 32
27 – 32
27 – 32
DO minimum (ppm)
4
> 3.5
4.5
3
BOD (ppm O2)


< 0.2
< 10
pH
7.8 - 8.5
7.8 – 8.5
7.8 - 8.4
7 – 9
Alkalinitas (ppm)
90 150
90 - 150 
90 – 150
100 - 150
Transparansi (cm)
40 – 50
30 - 50
30 - 40
30 – 40
Suspensi terlarut (ppm)
<30 span="">
< 20
< 40
< 30
Salinitas (ppt)
10 -35
10 – 35
10 -35
10 – 35
Ammonia (ppm)
< 0.5
< 0.3
< 0.4
< 0.5
Nitrat (ppm)
<0 span="">
<0 span="">
<0 .4="" span="">
<0 span="">
Nitrit (ppm)
< 0,1
<0 span="">
< 0,1
< 0,1
Phosphat (P2O5) (ppm)
<0 span="">
0,30
0,35
0,25
Total Vibrio (CFU/ ml)
102
 103 – 10 4
 103 – 10 4
 < 104
Logam berat 1. Hg (ppm) 2. Pb (ppm)
<0 ppm="" span="">
<0 ppm="" span="">
<0 ppm="" span="">
<0 ppm="" span="">
6.3. Mananajemen kualitas air. 

6.3.1. Suhu air.
Suhu air tambak tergantung cuaca dan berpengaruh langsung terhadap nafsu makan. Hasil kajian menunjukkan bahwa  meskipun suhu mencapai 34o C pada siang hari, udang hidup dan tumbuh normal. Hasil pengamatan laju komsumsi pakan, pada suhu 26o C nafsu makan turun hingga 50 %. 

Suhu dalam air terutama pada bagian dasar tambak juga di pengaruhi oleh kepadatan partikel yang dapat di ukur tingkat kecerahan dengan sechi disk. Kepadatan pertikel dalam air termasuk plankton akan menghalangi penetrasi cahaya masuk dalam air sehingga suhu air di dasar lebih rendah daripada di permukaan.  

6.3.2. Salinitas.
Fluktuasi harian salinitas pada petak pembesaran udang di pertahankan tidak lebih dari 3 ppt  untuk mennghindari stres pada udang.  Oleh karena itu fungsi tandon  sebagai  persediaan air  dapat digunakan untuk menekan fluktuasi salinitas yang tinggi.  Sebelum melakukan pergantian atau penambahan air, dilakukan pengontrolan salinitas antara petak pembesaran udang dan petak biofilter sehingga perlakukan pergantian atau penambagan air tidak merubah salinitas melebihi 3 ppt.

6.3.3. pH air.

Pengukuran pH air terutama pada air bagian dasar dilakukan pada pagi jam 05.00 (sebelum matahari terbit) dan sore hari sekitar jam 16.00. Nilai pH air yang optimal adalah 7,8 – 8,2 dengan kisaran  fluktuasi pH pagi dan sore adalah 0,2-0,5. Oleh karena itu bila pH turun hingga mendekati 7,0 dilakukan pengapuran dengan kapur Ca (CO3)2 atau dolomite dosis 3 - 5 ppm. Sebaliknya bila pH naik mendekati 8,8 segera dilakukan  pemberian molase (tetes tebu) dosis 3 ppm. Cara ini dilakukan tiap 3 hari sekali  hingga nilai kisaran pH normal. Nilai fluktuasi pH yang tinggi, yaitu lebih dari 0,5,  menunjukan bahwa karbonat dalam air sebagai penyangga (buffer) kurang. Karbonat dapat diukur dari alkalinitas. Biasanya apabila nilai alkalinitas kurang dari 90 ppm, akan mengakibatkan  fluktuasi pH  harian tinggi, sehingga perlu penambahan kapur untuk meningkatkan carbonat. Sebaliknya bila fluktuasi kurang dari 0,2 atau bahkan sore hari sama dengan pagi hari, menunjukkan fotosintesis tidak berjalan dengan normal, sehingga perlu aerasi untuk meningkatkan kandungan oksigen terlarut.

6.3.4. Alkalinitas.
Alkalinitas dipertahankan pada nilai 90 - 150 ppm. Alkalinitas yang rendah atau kurang 90 ppm harus dilakukan pengapuran sehingga alkalinitas mencapai angka sesuai dengan kisaran. Jenis kapur yang digunakan disesuaikan dengan kondisi pH air sehingga pengaruh pengapuran tidak membuat pH air tinggi. Jenis kapur disesuaikan dengan keperluan dan fungsinya, segai contoh  kapur hidroksida Ca(OH)2 diaplikasikan untuk menaikan alkalinitas sekaligus menaikan pH air. Bila pH air sudah tinggi, maka untuk menaikan alkalinitas digunakan jenis kapur carbonat (CaCO3) atau kaptan (Tabel 6).

Tabel 6. Jenis kapur dan penggunaan
No
Jenis kapur
Fungsi
1
Kapur gamping (CaO)
Menaikan pH dan suhu
2.
Kapur Tohor /hidroksida Ca(OH)2
Menaikan pH
3
Kapur dolomit atau kaptan  (CaMg(CO3)2
Menaikan karbonat dan sedikit pH, dan sebagai pupuk
4
Kapur karbonat (CaCO)3
Menaikan karbonat dan sedikit pH

6.3.5. Kecerahan.
Nilai kecerahan diukur dengan sechi disk,  sebagai tolok ukur kepadatan partikel termasuk plankton dalam air. Perbedaan kecerahan karena plankton dengan partikel terlarut  adalah dengan mengamati air dalam gelas atau botol plastik. Kekeruhan akibat partikel atau suspensi terlarut ditandai akan terjadi pengendapan setelah air didiamkan dalam botol atau gelas. Sedangkan kekeruhan akibat plankton ditandai air tidak banyak berubah atau tidak terjadi pengendapan.

Fitoplankton akan tumbuh  apabila  unsur hara (pupuk) tersedia di air. Penumbuhan fitoplankton juga bertujuan untuk menghindari  pertumbuhan klekap, lumut dan makro algae lainnya. Pada  awal masa pemeliharaan fitoplankton tidak stabil, karena adanya keterbatasan unsur hara yang diperlukan.   Oleh karena itu perlu dilakukan pemupukan berimbang, fermentasi bekatul dengan probiotik dan penambahan inokulan fitoplankton.

Kecerahan plankton dipertahankan pada kisaran 30 - 40 cm.  Kecerahan diamati setiap hari sekitar jam 09.00 dan di data sehingga dapat diketahui kecenduran kepadatan flankton harian. Bila kecerahan meningkat hingga lebih dari 40 Cm, perlu dilakukan pemupukan untuk meningkatkan pertumbuhan flankton. Jenis pupuk yang digunakan ialah pupu anorganik, yaitu Urea dan TSP dengan perbandingan 1 : 1, dengan dosis 3 – 5 ppm dan pupuk mikro nutrien. Pemupukan susulan dilakukan setia 5 – 7 hari hingga flankton stabil. Unsur pospat (P205) sangat menentukan pertumbuhan flankton. Kandungan minimal pospat minimal 0,25 ppm.

Kepadatan plankton  dan partikel terlarut dalam air berpengaruh terhadap kandungan oksigen terlarut. Pada saat kecerahan rendah akan menghambat penetrasi cahaya ke dalam air, sehingga plankton di bagian bawah tidak dapat melakukan fotosintesa, sehinga kandungan oksigen di dasar rendah. 

6.3.6. Ciri-ciri fitoplankton dan potensinya.

a. Warna hijau gelap (Cincau).
Merupakan indikasi air didominasi jenis algae hijau  dari jenis Chlorella spp kadang-kadang juga ditemukan Platymonas, Carteria dan Chlamidomonas. Pada tambak dengan salinitas rendah, Scenedesmus dan Euglena  lebih dominan. Warna hijau muda ini merupakan warna favorit karena stabil. Kecerahan air yang disebabkan oleh fitoplankton dipertahankan pada level 30 – 40 cm. Bila kecerahan lebih dari 40 cm atau kurang dari 30 cm akan mengakibatkan kualitas lingkungan tidak stabil.

b. Warna hijau  biru.
Warna ini merupakan warna yang mencirikan predominansi alage hijau biru dengan meningkatnya suhu air rata-rata dan kelarutan bahan organik di air. Kasus-kasus penyakit cangkang lunak, udang biru dan pertumbuhan lambat mulai sering terjadi pada air berkondisi demikian.  Jenis-jenis yang umumnya ditemukan hingga 90 % populasi adalah dari genus Oscillatoria, Phormidum dan Microccoleus. Pada air dengan warna ini sering juga dirtemukan Lyngbya, Chroococcus, Spirulina, Anabaena dan Synochecytis.

c. Warna hijau kuning.
Warna ini ditimbulkan oleh algae flagellata kuning keemasan dari genus Chlamidomonas, Hymenomonas, Rhodomonas, Chilomonas dan Pavlova serta bercampur dengan flagellata hijau sepeti Dunaliella dan Carteria. Jenis flagellata kuning dipicu pertumbuhannya oleh bahan organik anaerobik di tanah sehingga warna ini dapat menimbulkan hambatan pertumbuhan bahkan kematian udang. Pergantian air sangat dianjurkan dan harus diimbangi dengan penambahan jumlah dan opersioanal kincir air.

d. Warna Coklat Tua
Warna air tambak yang coklat tua ini adalah warna yang paling tidak disukai operator tambak karena mengandung Dinoflagellata (Brown Algae). Kondisi ini sering ditemui pada tambak yang telah mencapai masa akhir menjelang panen dengan dasar tambak yang telah banyak mengandung bahan organik dan kesulitan mengganti air.  Air di tandon yang terlalu lama, jernih dan tidak ada ikannya juga akan didominasi Dinoflagellata. Jenis-jenis plankton yang tergolong dinoflagellata adalah litochdiscus, Prococentrum, Peridinium, Ceratium, Gymnodinium, Gonyaulax, Noctiluca dan kadang kadang ditemukan Chilomonas, Euglena dan PLatymonas.

Masalah kesehatan sering timbul dengan air yang berwarna coklat tua ini diantaranya, insang merah, insang hitam dan insang bengkak. Beberapa jenis dinoflagellata ini dapat menghasilkan racun casilaxin -PSP- (Paralytic Shellfish Poisoning) atau racun glenodine yang toksik bagi ikan dan kerang.

Bila Dinoflagellata sulit diatasi maka udang yang dipelihara akan menderita dengan beberapa ciri-ciri fisik :
1.    Tubuh udang berwarna biru gelap.
2.    Antena pendek dan melingkar.
3.    Tutup insang melipat  keluar.
4.    Ruas-ruas tubuh cekung kurus. 
5.    Ekor melipat dan tubuh bergelombang.

e. Warna keruh keputihan.
Merupakan salah satu warna yang berbahaya karena menunjukkan fitoplankton yang dikonsumsi zooplankton dan air dipenuhi populasi zoopankton.  Jenis-jenis yang sering ditemukan adalah :
1.    Cilliata : Febria, Frontonia, Nassula dan Trachelocerca.
2.    Rotifera : Lecane, Synchaeta dan Brachionus.
3.    Copepoda : Acartia, Tenora dan Centropage.
4.    Nauplius teritip (Barnacle).

Untuk menghindari hal tersebut maka perlu dilakukan penggantian air atau dengan menggunakan Protam (1,5 pentadial 50 EC) dengan dosis 1 ppm. 

f. Warna  coklat kekuningan.
Merupakan air yang didominasi oleh diatom dari genus Chaetoceros, Nitzchia, Cyclotella, Synedra, Acanthes, Ampora dan Euglena. Warna ini biasanya membuat panik pengelola tambak karena tidak dilihat di bawah mikroskop sehingga cenderung berusaha mengganti air (hal yang tidak perlu).  Hanya jenis diattom Biddulphia yang berpotensi membuat udang stress bila populasinya terlalu tinggi.

6.3.7. Pembuangan jenis pankton  melalui pintu air.
Plankton negatif dan posistif yang ditemukan dalam air tambak dapat dikendalikan populasinya dengan manajemen pembukaan pintu air (monik), dengan mengenal karaketristik lapisan air yang disenangi masing masing plankton seperti terlihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Lapisan air yang dihuni berbagai jenis plankton dalam jangka waktu  berbeda

Lapisan air di Tambak
Pagi pk 08.00
Sore pk 15.00
Malam pk 03.00
1. Permukaan
Cyanophyceae
Ciliophora Phytoflagellata Annelida
Dinoflagellata Arthropoda Rotifera
2. Tengah Air
Ciliophora Phytoflagellata Dinoflagellata Arthropoda Rotifera


3. Dasar
Annelida (cacing)
Dinoflagellata Arthropoda Rotifera
Cyanophyceae Ciliophora Phytoflagellata Annelida

Keterangan: Biodata dengan huruf tebal merupakan jenis yang harus diperhatikan kemelimpihanannya (tidak boleh lebih dari 50 %) melalui mengamatan pada sendwich rafter atau haemocytometer.

6.3.8. Penumbuhan plankton
a.    Penumbuhan plankton dilakukan setelah air di petakan bebas dari kandungan desinfektan.  Pada dasarnya, fitoplankton akan tumbuh bila tersedia media, nutrient dan inokulan. Penumbuhan/kultur plankton di tambak tidak lebih dari pada menumbuhkan “native” species meski pada sistem budidaya yang semakin berkembang penambahan inokulan dari luar sistem sudah mulai dilakukan. Kebanyakan species plankton mudah tumbuh. Atmosfer mengandung spora dan bagian vegetatif dari bermacam species.  Beberapa jenis burung juga dapat menjadi media penyebaran Fitoplankton. Spora maupun bagian vegetatif dari fitoplankton  dapat bertahan hidup di saluran pencernaan dan dikeluarkan bersama faeces.
b.    Dibanding dengan faktor pembatas lain, nutrient sepertinya mempunyai porsi terbesar untuk suksesnya penumbuhan plankton.  Kebutuhan  nutrien untuk pertumbuhan didapatkan dari sekitarnya, sehingga lingkungan harus menyediakan sejumlah nutrien yang diperlukan.  Kolam dengan input pakan akan memperoleh tambahan nutrien baik dari sisa pakan maupun hasil metabolisme dari pakan tersebut oleh ikan, udang atau hewan peliharaan yang lain. Sementara kolam-kolam yang mengandalkan kelimpahan pakan alami, nutrient tersedia dari berbagai proses alamiah yang terjadi di ekosistem tersebut. Secara umum, C (Carbon), N (Nitrogen) serta P (Phospor) adalah tiga jenis unsur utama yang secara signifikan banyak berpengaruh terhadap pertumbuhan fitoplankton. Carbon diperoleh dari diffusi gas CO2, sementara N dan P diperoleh dari bahan anorganik.
c.    Apabila lingkungan tidak dapat menyediakan nutrient sesuai dengan jumlah yang diperlukan, maka penambahan nutrient dari luar mutlak diperlukan sehingga pemupukan adalah bagian yang tak terpisahkan pada tahapan – tahapan penumbuhan plankton.
d.    Jenis pupuk anorganik yang umum digunakan adalah Urea            (46–0-0), Ammonium phospat (16–20-0) atau superphospat (16–16-16) yang dapat diaplikasikan pada masing-masing 5 – 10 ppm dan 2 – 4 ppm.  Pupuk anorganik harus direndam sebelum disebarkan.  Jika diberikan dalam bentuk padatan, dikhawatirkan sejumlah pupuk akan terakumulasi di satu tempat di dasar kolam dan akan memicu tumbuhnya plankton dasar.
e.    Pemberian inokulan untuk mempercepat tumbuhnya plankton dapat dilakukan dengan menambahkan konsentrat Chlorella, sehingga kepadatan awal di tambak 20.000 sel/ml.  Konsentrat Chlorella didapat dengan memflokulasikan kultur Chlorella dengan penambahan soda api.  Inokulasi konsentrat Chlorella dapat dilakukan satu hari setelah pemupukan dengan cara menyebarkannya secara merata ke seluruh bagian petakan.  
f.     Proses tumbuhnya plankton memerlukan waktu beberapa hari sampai dicapainya kondisi yang stabil.  Idealnya dalam beberapa hari tersebut warna air akan berubah menjadi lebih hijau atau coklat dengan kecerahan sekitar 40 – 50 cm. Pada perairan-perairan yang sangat miskin atau plankton yang ada telah mati akibat chlorinasi, plankton mungkin tidak akan tumbuh dalam beberapa hari. Atau juga bukan tidak mungkin plankton yang telah tumbuh akan mati dengan tiba-tiba sehingga air akan kembali menjadi jernih.  Pada kasus seperti ini disarankan untuk menambahkan sejumlah “green water” dari kolam lain.  Harus dipastikan bahwa kolam donor berada pada kondisi sehat.
g.    Apabila plankton tidak tumbuh dalam beberapa hari setelah pemupukan, tidak disarankan untuk melakukan pemupukan ulang. Pemupukan ulang pada kondisi air jernih malah akan memacu tumbuhnya klekap (benthic algae). Penambahan dosis pupuk dapat dilakukan pada tambak-tambak dengan type substrat dasar kandungan nutrien lebih rendah, misalnya pada tanah yang banyak mengandung pasir.  Penambahan pupuk yang disarankan adalah 5 – 10 % dari dosis normal. 

6.3.9. Manajemen fitoplankton. 
a.    Keberadaan fitoplankton tambak pada dasarnya sangat diperlukan. Fitoplankton adalah bagian dari komunitas mikroba yang berperan dalam mengatur kondisi kultur yang diinginkan.  Selain dapat memanfaatkan sisa nutrient, keberadaan fitoplankton juga mengurangi intensitas cahaya, memproduksi oksigen, menstabilkan temperatur serta memberikan kontribusi akan kebutuhan nutrient bagi organisme yang dipelihara. Pada tipe budidaya yang semakin beragam, model pengelolaan fitoplankton harus disiasati sehingga didapatkan kondisi ambient pada kepadatan tertentu yang merupakan ukuran ideal.  Perlu disadari juga bahwa kebanyakan problem kualitas air adalah resultan dari beberapa faktor yang pada awalnya merupakan efek dari keberadaan fitoplankton yang tidak terkelola dengan baik.
b.    Fitoplankton akan berada pada kondisi yang diinginkan bilamana dikelola dan dicermati berbagai fluktuasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam pertumbuhannya.  Secara umum, plankton yang berwarna hijau atau hijau kuning akan lebih mudah dipertahankan dari pada yang berwarna coklat. Pada kolam–kolam dengan tingkat salinitas sangat rendah, jenis alga hijau biru kemungkinan akan muncul.  Jenis ini tidak begitu memberikan kontribusi pada kandungan oksigen terlarut dan bahkan cenderung membahayakan ikan/udang yang dipelihara.  
c.    Problem umum yang sering muncul pada awal-awal masa produksi adalah kematian plankton akibat kekurangan nutrien atau CO2. Kondisi ini dapat terjadi dengan tiba-tiba dan menyisakan sedikit plankton yang masih hidup. Plankton yang mati akan menyebabkan munculnya busa dalam jumlah besar di permukaan dan juga deposit material di dasar. Pada akhir masa pemeliharaan, problem biasanya terkait dengan kepadatan yang berlebih. Jika plankton terlalu padat dan air tidak diaerasi secara terus menerus sebagian plankton akan mati karena tidak mendapatkan cahaya yang cukup. Kematian juga sering terjadi karena perubahan kualitas air yang dramatis seperti adanya hujan yang sangat lebat.
d.    Untuk menjaga kondisi plankton yang stabil, perlu untuk menambahkan sejumlah nutrien, CO2 dan cahaya. Nutrien dapat ditambahkan dalam bentuk pupuk anorganik dengan dosis 3 – 5 ppm.  CO2 dipasok  dari atmosfir, respirasi hewan piaraan, respirasi fitoplankton dan bakteri, alkalinitas serta pengapuran. Penetrasi cahaya matahari dapat ditingkatkan dengan memutar air dengan kincir atau mengurangi densitas dengan penggantian air.
e.    Penggantian air adalah cara paling mudah untuk menurunkan kepadatan plankton pada kolam-kolam yang dikelola dengan sistem tertutup. Pada kolam yang menggunakan sistem tertutup, penggunaan bahan kimia lebih sering dilakukan untuk mengontrol kepadatan.  Harus diwaspadai jenis, dosis serta efek dari bahan kimia tersebut apabila diaplikasikan.  Pada umumnya jenis yang digunakan adalah BKC (Benzal Konium Chloride) pada dosis 0.1 – 0.5 ppm serta formalin pada dosis 10 – 20 ppm.

6.3.10. Oksigen terlarut
a.    Kandungan oksigen terlarut merupakan parameter kualitas air utama pada pembesaran udang di tambak. Kebiasaan  udang windu adalah mempunyai aktivitas pada dasar perairan. Oksigen terlarut terutama pada air dasar tambak tidak kurang dari 4 ppm. 
b.    Fluktuasi kandungan oksigen terlarut sangat ditentukan kepadatan biota yang ada dalam air terutama fitoplankton dan tanaman air lainnya yang merupakan produsen primer. Untuk menjaga oksigen terlarut tetap pada kondisi yang optimal adalah dengan memanfaatan proses fotosintesa, penggunaan aerasi.

a.         Pengaturan kincir air.
Kincir  air diperlukan untuk : 
1.    Suplai O2 di air
2.    Mengoksidasi permukaan dasar
3.    Membuat kotoran tersuspensi dan teroksidasi di kolom air
4.    Mengatur  arus air dan  menentukan penumpukan lumpur organik
5.    Menghilangkan  pelapisan air oleh suhu dan salinitas dan menghomogenkan  kelarutan oksigen

b.            Kebutuhan kincir dari biomassa udang.
1.    Kincir air dipasang sesuai dengan kebutuhan minimal pada  bulan pertama pemeliharaan. Pada bulan kedua pemeliharaan, total kincir harus sudah terpasang sesuai dengan target produksi berdasarkan data SR terakhir.  Sebuah tambak tidak memerlukan kincir hingga produksi biomassa udang mencapai 500 kg/Ha dengan pertumbuhan normal.  Kincir dapat tidak dipasang pada biomassa 700 kg/ha dengan pertumbuhan lambat.
2.    Untuk pertumbuhan tetap normal, kincir dipasang setelah biomassa > 500 kg/ha dengan perhitungan bahwa 1 kincir 1.5 HP dapat menunjang kehidupan 250 kg – 300 kg udang bila dasar tambak sudah tua atau tidak dapat dibersihkan. Satu kincir dapat menunjang kehidupan hingga  400 kg bila dasar dapat dibersihkan.

c.         Kebutuhan kincir dari kejenuhan oksigen di air.
1.    Berdasarkan kandungan oksigen terlarut, kincir di tambak dihidupkan hanya ½  jumlah total pada bulan ke tiga hingga ke empat apabila tingkat kejenuhan diatas 100 % jenuh. Kincir harus seluruhnya dihidupkan apabila tingkat kejenuhan hanya mencapai 50 %.
2.    Tingkat kejenuhan dihitung dengan mencocokkan kelarutan oksigen terukur (DO), salinitas, temperatur dengan tabel kejenuhan. Angka yang  terukur dibagi angka seharusnya di Tabel dan dikalikan 100 % =  tingkat kejenuhan di air pada saat itu (%).

Arah kincir air harus dipasang sesuai dengan :
1.    Arah pengendapan antar masing masing kincir berjarak 12 - 15 m dan 
2.    Arah pembuangan lumpur (pintu air) harus lebih besar dari 15 m

Kriteria pemasangan kincir yang benar :
1.    Tidak ada pengendapan lumpur halus di dasar tambak lebih dari  10 cm
2.    Redox potensial tanah  tidak mencapai – 250 mV
3.    70 % wilayah tambak di dasar, memiliki DO minimum lebih dari 4 ppm

d. Penggunaan blower sebagai pemasok oksigen terlarut.
Dewasa ini telah tersedia berbagai jenis blower yang dapat dipergunakan sebagai pemasok oksigen di tambak dengan hasil kelarutan oksigen yang lebih efisien per satuan tenaga yang diperlukan sebagai penggerak mesin. Blower untuk keperluan aerasi ditambak tersedia dalam tiga bentuk umum :
1.    Rotary Blower/Rootblower, merupakan blower dengan tenaga yang kuat untuk tambak/ bak dengan kedalaman > 1 m  dan untuk memompa untuk jarak yang jauh serta titik yang banyak. Pada umumnya jenis ini dipakai di pembenihan atau di unit pengolahan air minum namun sangat baik untuk dipergunakan di tambak.
2.    Vortex Blower, alat ini berprinsip putaran cepat akan menghasilkan volume angin yang banyak, hanya kelemahannnya adalah suaranya yang bising dan tekanan yang rendah < 60 cm dalam serta jarak tiup udaranya yang terbatas
3.    TurboJet, merupakan blower khusus tambak yang dapat digerakkan oleh motor listrik  maupun langsung dari  penggerak diesel (dengan resiko menghisap asap)

Keterangan :  Posisi Pemasangan kincir dapat dilihat pada Bab Persiapan Tambak.

Pemasangan blower di tambak bisanya melalui pipa utama 2 inch dengan cabang sekunder 1 inch dan pipa terakhir berukuran ¾ inch. Lubang aerasi masing masing berjarak  3 m dan antar pipa terakhir berjarak  5 m. Lubang aerasi adalah pipa yang dibor dengan mata bor berukuran terkecil dan menghadap ke dasar tambak. Efektivitas blower akan slebih efektif bila di kimbinasikan dengan kincir air untuk mengatur sedimentasi agar terkumpul di titik tengah. Di Thailand blower dipasang di belakang kincir berangkai  sehingga udara yang dihasilkan didorong oleh kincir.

6.3.11. Bahan organik
Kondisi kualitas air tambak dapat diukur dengan parameter kandungan total bahan organik (TOM) atau jumlah N-organik dalam air. Peningkatan kandungan N-organik dalam disebabkan sisa  pakan yang tidak dikomsumsi, kotoran udang, kematian plankton atau tanaman air lainnya, dan bahan organik yang masuk pada saat pergantian air.  Kandungan bahan organik yang tinggi lebih dari 60 ppm menunjukkan kualitas air yang menurun. Proses perombakan bahan organik tidak dapat berlangsung dengan sempurna.  Kandungan total bahan organik merupakan sumber terjadinya senyawa yang dapat meracuni udang dalam proses anaerob atau reaksi reduksi.

Pengukuran bahan organik dilakukan setiap minggu baik pada petak pembesaran udang maupun petak tandon. Bila kandungan air tambak  mencapai 50 ppm maka perlu dilakukan penurunan yaitu dengan cara pergantian atau penambahan air dari petak tandon. Cara ini dapat dilakukan kalau petak tandon kandungan bahan organiknya lebih rendah.

Cara lain adalah dengan penebaran probiotik jenis Bacillus sp dan Rodobacter sp secara rutin tiap 3 hari sekali  dengan dosis 1 - 2 ppm untuk mempercepat proses penguraian bahan organik. Perlakukan lain untuk mencegah terjadinya proses tersebut dengan membuat kondisi aerob dengan mempertahankan oksigen terlarut tetap tinggi yaitu lebih dari 4 ppm.

Penguraian bahan organik  akan berlangsung dengan baik apabila komposisi C/N rasio dalam bahan organik tersebut lebih dari  10. Oleh karena perlu dilakukan penambahan sumber karbon (C-organik). Sumber C-organik yang digunakan adalah  bahan-bahan karbohidrat seperti tepung tapioka, terigu dll. Aplikasi bahan-bahan karbohidrat  diberikan 1 - 2 kali per minggu. Dosis pemberian adalah 10% dari jumlah total protein (crude protein) dari pakan komersial yang telah diberikan. Sebagai dampak dari perlakukan ini adalah terjadinya penurunan bahan organik dan pertumbuhan plankton yang ditandai warna hijau. 

6.3.12. Lumpur dasar tambak
Nilai redok potensial  lumpur  dasar tambak menunjukkan kondisi tanah yang dapat digunakan untuk mengikuti perkembangan fenomena reaksi kimia dan biologi dalam tambak. Dengan nilai redoks potensial yang negatif menunjukkan terjadinya reaksi reduksi, yang dapat menghasilkan senyawa yang bersifat racun terhadap udang seperti senyawa sulfida (H2S), Nitrit dan amonia. Oleh karena itu sangatlah penting untuk melakukan pengamatan lumpur dasar selama pemeliharaan untuk menentukan perlakuan.

Kondisi lumpur dasar tambak selama pemeliharaan juga sangat ditentukan oleh manajemen pakan tambahan. Pengelolaan pakan harus dilakukan dengan baik. Hal ini mengingat biaya operasional untuk  pakan dalam budidaya udang sangat besar. Dampak penggunaan pakan yang tidak terkontrol juga akan menyebabkan permasalahan memburuknya lingkungan tambak dan pada akhirnya dapat menyebabkan munculnya penyakit dan kematian.

Pengukuran redok tanah  dasar tambak dilakukan setiap 2 minggu sekali. Apabila nilai redoks sudah mencapai -100 mV menunjukan adanya reaksi reduksi yang diduga akan menghasilkan senyawa beracun nitrit dan sulfida pada pH asam dan Amonia pada pH basa. Tindakan yang dapat dilakukan bila redok potensial telah mencapai kurang  -100 mV adalah dengan meningkatkan kandungan oksigen terlarut pada dasar tambak. Peningkatan oksigen terlarut dapat dilakukan dengan aerasi  atau dengan pompa Cara lain adalah dengan pengaturan pH air pada kisaran 7,8 - 8,5. Aplikasi bakteri pengurai secara rutin dapat mempercepat penguraian bahan organik pada lumpur dasar.

6.4. Pembuangan air pada saat pemeliharaan dan panen
Air yang keluar dari petak pemeliharaan sedapat mungkin melalui central drain atau pipa tengah agar lumpur organik dasar tambak sebagian besar  dapat terbuang. Air yang mengandung sedimen akan dialirkan dalam saluran pembuangan yang memiliki lebar dan panjang tertentu yang dapat membuat arus hanya berkecepatan 3 meter/menit sehingga suspensi sempat mengendap. Untuk menghemat lahan pengendapan dapat dilakukan dengan membuat sekat sekat 0.5 m di bawah air  atau sekat zig-zag di saluran.  Air dapat dialirkan langsung ke dalam petak ikan setelah diberi aerasi 1 kincir  atau blower 40 watt.

Air yang boleh dibuang dari petak pemeliharaan harus dikeluarkan melalui pintu monik lapisan atas, namun bila hendak diendapkan terlebih dahulu, air dapat dikeluarkan dari manapun. Kualitas air buangan yang memenuhi kriteria Internasional dapat dilihat pada Tabel 8 berikut ini.

Tabel 8. Kriteria kualitas limbah tambak pada saat panen

Parameter
Unit
Batas Maksimum
Batas Yad
pH TSS Total P Total Ammonia BOD 5 hari DO pagi hari
-mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
6.0 -9.5 < 100 < 0.5 < 5 < 50 > 4
6.0 – 9.0 < 50 < 0.3 < 3 < 30 > 5

6.5. Aplikasi probiotika
Probiotik  pada umumnya didefinisikan sebagai bakteri tambahan (inokulan) yang dipakai untuk melaksanakan suatu proses enzimatis­mikrobiologis tertentu. Kenyataan selanjutnya menunjukkan bahwa organisme yang melaksanakan  tugas-tugas perubahan biologis juga dapat didefinisikan sebagai biomanipulator. Beberapa organisme yang dapat dikatakan sebagai biomanipulator  adalah  ikan herbivora (beronang/Siganus spp), ikan omnivora (ikan mujair dan ikan bandeng), ikan plankton feeder (ikan nila dan ikan belanak) dan ikan-ikan pemakan zooplankton dan udang kecil seperti wering/ seriding dan  ikan keting.

6.5.1. Jenis probiotik 
Berdasarkan jenis atau fungsinya probiotika juga dapat dikelompokkan ke dalam :
1.    Probiotika pengurai pupuk organik sebelum dimasukkan ke tambak
2.    Probiotika pengurai limbah organik di dalam tambak
3.    Probiotika yang membantu pencernaan pakan buatan di dalam tubuh udang.

Probiotika secara ekonomis diperhitungkan sebagai input yang mahal, kesalahan persiapan dan penaganan hanya akan menambah biaya tanpa hasil apapun. Pemberian sebaiknya dilakukan setelah organisme probiotika ditumbuhkan dengan maskimum sebelum dimasukkan ke air/dasar tambak.

6.5.2. Prosedur penumbuhan probiotika
a.         Probiotika pengurai pupuk organik sebelum dimasukkan ke tambak

Diperlukan untuk menumbuhkan fitoplankton secara cepat dan stabil miminum hingga 7 hari,  komposisi  pupuk dan probiotika yang diberikan adalah sbb :
1.    Dedak sebagai sumber karbohidrat, selulosa dan silikat
2.    Gula/tetes tebu sebagai sumber CO2
3.    Protein tepung ikan/Urea/Pakan BS sebagai sumber nitrogen dan karbon (C)  sebagai penyusun protein sel probiotika
4.    Bakteri biakan (Baccillus atau Nitrobacter atau Nitrosomonas)
5.    Aerasi/ pengadukan agar proses berlangsung secara aerobik

b.         Probiotika pengurai limbah organik di dalam tambak
1.    Bakteri fotosintetik bakteri Chtinioclastic,  Lipolitic, Cellullolityc, proteolitic bacteria.
2.    Molase sebagai sumber Karbon 
3.    Tepung ikan sebagai sumber protein
4.    Zeolite sebagai pemberat dan pori-pori penyerap bakteri
5.    Pengadukan tanpa aerasi  karena bakteri aerobik fakultatif

c.         Probiotika yang membantu pencernaan pakan buatan di dalam tubuh udang
1.    Bakteri Lactobaccillus
2.    Gula dan air sebagai medium pertumbuhan
3.    Tepung ikan sebagai sumber protein
4.    Kanji sebagai medium pengikat untuk dilapisi di pakan (pelet)


Sumber Tulisan:
Buku PENERAPAN BEST MANAGEMENT PRACTICES (BMP)
PADA BUDIDAYA UDANG WINDU (Penaeus monodon Fabricius) INTENSIF
Departemen Kelautan dan Perikanan
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya
Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau
Jepara 2007

Dowload Pdf

Tidak ada komentar: