Udang Windu |
Perkembangan budidaya
udang windu dihadapkan pada suatu kondisi yang kurang menggembirakan. Rangkaian kegagalan yang
diakibatkan oleh berbagai faktor memerlukan solusi yang komprehensif; dengan
melibatkan multi-disiplin ilmu dan keahlian untuk bekerja secara sinergis. Di samping itu, dalam era perdagangan
global dewasa ini, proses produksi perikanan budidaya –dalam hal ini udang
tambak– mesti memenuhi kriteria food safety yang telah disepakati oleh
masyarakat dunia; baik menyangkut hazard analysis (HACCP), Best Management
Practices (BMP), hingga persyaratan ramah lingkungan (environmental controls).
Walaupun udang windu
merupakan komoditas unggulan bagi sektor
perikanan budidaya, namun harus
diakui bahwa kemajuan teknologi tambak
udang di Indonesia hampir selalu tertinggal,
berbagai permasalahan dan kendala yang terus merebak lebih cepat. Akibatnya budidaya udang windu menjadi
terpuruk dan tidak mudah untuk bangkit kembali.
Semakin besarnya beban pencemaran di wilayah pantai, merebaknya berbagai
jenis penyakit hingga faktor sosial-ekonomi yang tidak kondusif, semakin
menempatkan usaha budidaya udang pada posisi yang kian labil. Tidak kurang dari 80% lahan tambak udang yang
pada era tahun 80-an sangat produktif, kini menjadi lahan kosong, atau
dialihkan menjadi tambak garam tradisional.
Beberapa konsep teknologi
tambak udang telah dikaji oleh BBPBAP Jepara atau pihak lain yang berkompeten.
Namun perlu diakui bahwa tidak mudah menyebarkan teknologi tersebut secara utuh
kepada petambak dengan kondisi lahan, sosial ekonomi, dan karakeristik petambak
yang sangat variatif. Upaya diseminasi
yang diprogramkan untuk mempercepat penyebaran teknologi seringkali terkendala
oleh faktor teknis dan non-teknis, sehingga upaya pembaruan prosedur
operasional budidaya merupakan suatu pilihan yang harus dilakukan. Standard
Operational Procedures (SOP) ini disusun berdasarkan pengalaman teknis BBPBAP
di berbagai tempat dalam beberapa tahun terakhir.
I. PENDAHULUAN
Kondisi Budidaya Udang
Windu
Intensifikasi diartikan
sebagai peningkatan hasil dengan menambah input produksi tanpa adanya perluasan
lahan. Dengan perkataan lain
intensifikasi adalah peningkatan hasil produksi dengan memaksimalkan daya
dukung lahan yang ada. Terdapat sebuah relevansi yang erat antara produksi
dengan daya dukung lingkungan (carrying capacity). Daya dukung lingkungan (atau
hasil produksi), dapat diperbesar sampai pada tahap tertentu, bukannya tanpa
batas. Dan perlu diketahui bahwa daya dukung lahan adalah suatu yang dinamis,
akan berubah setiap saat. Karenanya
budidaya udang windu intensif adalah proses produksi biomass yang hasilnya
dapat ditargetkan pada besaran tertentu, sejauh persyaratan pokok dan pendukung
kehidupan serta pertumbuhan dapat dipenuhi untuk persyaratan hidup yang normal.
Usaha budidaya udang windu intensif pernah menunjukkan hasil yang memuaskan,
hingga Indonesia menjadi salah satu produsen udang papan atas di dunia yang
pada tahun 1994 mampu mencapai angka produksi 160.000 ton/tahun.
Ternyata masa kejayaan
udang windu terhenti setelah adanya serangan penyakit virus yang menginfeksi
udang di tambak dan bahkan mencemari induk udang di laut. Harus diakui bahwa rangkaian keberhasilan
produksi pada masa lalu, ternyata tidak menyisakan prosedur baku yang dapat
diterapkan untuk mengulang keberhasilan tersebut di masa kini. Karenanya, alasan keberhasilan atau pun
kegagalan budidaya pada masa sekarang
adalah merupakan interaksi beberapa faktor sekaligus dilakukan di suatu tempat
pada waktu tertentu, cenderung tidak replicable, sehingga pelaksanaan budidaya
terkesan menjadi sangat subyektif (bergantung kepada intuisi dan kejelian
teknisi, dibanding berpedoman pada kaidah-kaidah budidaya yang umum).
Pada tahun 1995, Balai Budidaya Air Payau (sekarang BBPBAP) Jepara
mengembangkan teknologi resirkulasi tertutup pada tambak udang windu dengan
menerapkan biofiltrasi menggunakan ikan-ikan predator, ikan bandeng, kekerangan
dan rumput laut. Kemudian pada tahun 1998
mulai dikaji teknologi sistem tertutup dengan proteksi ganda yang
melibatkan sterilisasi media dan seleksi/pemilahan benih berkualitas dengan
peluang keberhasilan yang sangat tinggi (lebih dari 80%) saat itu. Namun dewasa
ini langkah-langkah tersebut sudah tidak menjamin keberhasilan usaha produksi
sehingga masih perlu disempurnakan.
Beberapa pendekatan baru mulai
dikembangkan walaupun masih memerlukan pengkajian lebih lanjut. Misalnya saja penerapan probiotik, konsep
penyeimbangan C/N rasio dan aplikasi imunostimulan. Bahkan introduksi spesies baru dari luar
negeri seperti udang rostris (Litopenaeus stylirostris) dan udang vaname (L.
vannamei) telah pula dilakukan untuk meningkatkan produksi udang dalam negeri.
Titik terang akan
pemecahan sederet masalah memang sudah muncul. Misalnya kesadaran terhadap
konsep biosecurity, penggunaan benih unggul (high health), sistem budidaya
terpadu, best management practices, yang berbasis pada penerapan budidaya ramah
lingkungan mulai dianut para petambak sesuai tingkat pemahamannya. Namun tidak
sedikit pula yang masih bertahan pada pola lama karena berbagai keterbatasan.
Kemajuan di bidang penyakit (manajemen kesehatan hewan akuatik) telah membawa
babak baru dalam perkembangan budidaya udang windu. Dewasa ini telah berhasil
diidentifikasi berbagai patogen mematikan yang hampir selalu hadir dalam
pertambakan udang kita. Mulai dari
penyakit vibriosis (karena Vibrio harveyi), penyakit virus bercak putih/panuan
atau systemic ectodhermal mesodhermal bacculo virus (SEMBV), hingga Taura syndrom
yang merupakan pendatang dari benua Amerika.
Kesadaran akan wabah penyakit melahirkan sikap lebih berhatihati para
petambak dalam melakukan usaha budidaya udang windu.
Dengan banyaknya kegagalan
dan terus menurunnya produksi tambak udang windu di Indonesia, BBPBAP memandang
perlu melakukan evaluasi dan pembaruan terhadap prosedur yang selama ini
menjadi pedoman dalam mengelola tambak. Teknologi yang telah dikembangkan dalam
tahun-tahun terakhir, dirasa perlu untuk dikompilasi dan diterbitkan dalam satu
panduan lengkap yang dapat dipakai acuan
para petambak. Sebetulnya, prosedur ini bukanlah suatu harga mati,
karena pada kenyataannya akan ditemui berbagai variasi yang spesifik
lokasi/lahan, yang tentu saja membutuhkan kreasi dan kecerdikan dari operator
tambak yang menanganinya. Pada intinya,
Standard Operational Procedures (SOP) budidaya udang windu, diharapkan dapat
menjadi pendamping dalam melaksanakan budidaya udang windu yang lestari.
II. PENGERTIAN SISTEM TAMBAK DAN FUNGSINYA
Pengelolaan
tambak dengan prinsip Best Management Practice (BMP) harus memenuhi kriteria
sebagai berikut :
1. Mendapatkan
air pasok yang bebas hama penular dan logam berat yang berbahaya.
2. Tambak
dapat menampung air dan mempertahankan
kedalaman sesuai yang diinginkan (tidak rembes).
3. Mengeluarkan
limbah dengan tingkat sedimen dan bahan organik terlarut yang rendah.
4. Dapat
menjaga keseimbangan proses mikrobiologis.
5. Menggunakan
bahan kimiawi/obat-obatan yang aman bagi
manusia dan lingkungan.
6. Menebar
benih yang sehat.
Untuk
memenuhi persyaratan di atas maka unit tambak terdiri dari :
1. Saluran
pengairan (sumber air pasok).
2. Unit
tandon (terdiri dari petak karantina, petak pengendapan, petak biofilter).
3. Petak
pemeliharaan.
4. Petak
pengolahan limbah.
Pembangunan tambak intensif dapat
memanfaatkan lahan marginal (tidak termanfaatkan) seperti misalnya rawa-rawa,
lahan pasir, lahan parit atau gambut namun disesuaikan dengan konstruksi dasar
pematang.
1. Konstruksi
biocrete (campuran semen, ijuk, bambu dan dasar plastik).
2. Konstruksi
plastik PE, Geotextile.
3. Konstruksi
plastik berlapis pasir.
4. Dasar
semen/concrete.
5. Konstruksi
batako/bata merah.
6. Konstruksi
bata putih (kapur gunung).
7. Konstruksi
tanah liat.
3.2.
Bentuk Petakan
1. Bentuk
petakan : lingkaran, bujur sangkar atau empat persegi panjang (1: 2).
2. Memiliki
sudut tumpul.
3. Sisa
lahan dengan petakan tidak beraturan dapat dimanfaatkan sebagai tandon.
4. Dimensi
pematang disesuaikan dengan struktur, tekstur
tanah, dan kedalaman air tambak (lebih dari 1.2 m). Memiliki tabel pasang surut dan gambaran pasang surut
lokal. Lebar atas minimal 3,5 m untuk pematang utama.
5. Dimensi
saluran : mempertimbangkan kebutuhan air, fenomena pasang surut lokal dan
simpangan waktu.
6. Peletakan
sarana listrik tertata rapi
Tolok
Ukur Pekerjaan :
1. Tidak
ada titik mati di dalam tambak.
2. Efektif
dan efisien dalam hal abtara lain
penggunaan lahan, penggunaan kincir, penanganan.
3. Pematang
memiliki aksesibilitas terhadap kendaraan roda 4.
4. Tersedia
air yang cukup pada kondisi pasang surut minimal.
5. Jaminan
keamanan dan keselamatan kerja tinggi.
Untuk memenuhi persyaratan tersebut maka
bentuk tambak yang mudah mengeluarkan
imbahnya adalah tambak lingkaran atau
bujur sangkar dengan sudut
melengkung. Namun pada prinsipnya,
proses pengendapan limbah pada salah satu wilayah kecil di tambak harus dapat
dilakukan dengan manipulasi saluran tengah, kolam tengah di dalam tambak dan
yang paling berperan adalah peletakan kincir air tunggal atau berangkai.
3.3.
Peran dan Bentuk Saluran Pembuangan
3.4. Pintu panen dan pengeluaran lapisan air
3.5. Caren (Peripheral canal)
Pada
umumnya caren hanya berfungsi pada saat panen. Namun kini caren tengah juga
sangat banyak manfaatnya dalam mengendapkan dan menampung limbah untuk
selanjutnya dihisap dengan pompa alcon (pompa centrifugal bermesin) dengan
diameter selang dan alat 2 inch.
1. Diperlukan
pada saat persiapan untuk tambak yang memiliki masalah rembesan atau sulit
dikeringkan.
2. Luas
dan kedalaman disesuaikan dengan tingkat perembesan dan kemampuan pompa.
3. Bila
dimanfaatkan untuk memudahkan panen, jaraknya 5 m dari kaki pematang, miring ke
arah pintu panen.
Tolok
Ukur Pekerjaan :
1. Pelataran
kering.
2. Saat
panen, udang dapat mengumpul di caren dan mengarah ke pintu panen.
3.6. Penempatan kincir, pengaturan arah kincir dan caren internal
3.7. Sumber Tenaga Listrik
Sumber
tenaga listrik untuk budidaya udang intensif harus mampu memenuhi kebutuhan listrik untuk
mengoperasionalkan pompa air, blower,
kincir air, penerangan dan peralatan lainnya yang menggunakan sumber tenaga
listrik. Sumber tenaga listrik ini bisa
dipenuhi dari dua sumber yaitu listrik dari PLN (Perusahaan Listrik Negara) dan
atau dari genset. Untuk budidaya udang intensif sebaiknya mempunyai kedua sumber
listrik tersebut. Satu unit generator pembangkit listrik harus selalu siap
pakai saat terjadi gangguan listrik dari PLN.
Tolok ukur pekerjaan :
Tersedia listrik 125 % dari kapasitas seluruh
kincir air yang diperlukan dalam jumlah terbanyak pada akhir masa pemeliharaan.
3.8.
Peralatan Monitoring Kualitas Air
Peralatan
monitoring kualitas air, penting untuk dimiliiki dalam usaha budidaya udang
secara intensif. Peralatan ini harus ada agar kualitas air di tambak dapat
dimonitor setiap saat dan dipertahankan pada kisaran optimum untuk pertumbuhan
dan perkembangan udang. Peralatan tersebut antara lain termometer (pengukur
suhu), refraktometer atau salinometer (pengukur salinitas), DO meter (pengukur
oksigen terlarut), pH meter, dan secchi disk (pengukur kecerahan air), dan alat
test kit, seperti untuk analisa alkalinitas, Nitrit dan Nitrat. .
IV.
PERSIAPAN TAMBAK
Persiapan
tambak bertujuan untuk meningkatkan
kualitas lingkungan, dan produktivitas lahan, dengan mengeliminir faktor-faktor
yang tidak mendukung kelangsungan hidup udang dan mengoptimalkan beberapa
faktor yang memberikan dukungan bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang.
Uraian kegiatan ini mencakup perkerjaan
konstruksi secara umum, persiapan
dasar tambak dan persiapan air, yang akan diuraikan dalam petunjuk berikut ini:
4.1.
Konstruksi
Konstruksi
tambak yang ideal dapat mendukung
budidaya udang bisa dilaksanakan dengan sempurna dan efisien, yakni ;
mampu menahan air, mampu membuang air limbah, mampu memelihara kualitas air, dan tambak dapat dikeringkan dengan mudah dan
sempurna. Namun demikian sering kali konstruksi tambak tidak atau kurang
sempurna, seperti adanya bocoran dari samping tambak, infiltrasi (rembesan air
masuk), pintu air tambak kurang baik dan elevasi dasar tambak tidak ideal.
Apabila konstruksi tambak tidak ideal maka langkah-langkah dan solusi yang
harus dilakukan sebagai berikut.
4.1.1. Penutupan
bocoran
Penutupan
bocoran pada pematang dapat dilakukan
dengan memasang kasa atau waring ukuran mata jaring (mesh size) 1,0 mm
dan atau ijuk (untuk jangka panjang
lebih baik). Alternatif penyumbatan
dapat dilakukan dengan
menggunakan kerai bambu, gedek bambu
dilapis aspal pasir. Bila kondisi bocoran begitu berat, disarankan untuk
memakai konstruksi lapisan plastik Geotextile, plastik PEBC (Poly Ethylen
Biphenil Chloride), bata plesteran, batako, batu kumbung, plengsengan beton,
dan pasangan batu.
Tolok
ukur pekerjaan :
Pekerjaan
berhasil bila tidak ada lagi bocoran atau maksimum kehilangan air 5%/hari pada
bulan pertama dan 2%/hari pada bulan kedua hingga panen.
4.1.2.
Rembesan masuk
Bila
tambak rembes atau sangat porous maka dilakukan perbaikan konstruksi dasar
tambak sebagai berikut :
a.
|
Dilapisi dengan tanah yang didominasi
liat melebihi 50%, sedalam
|
|
|
minimal 20 cm.
|
|
b.
|
Dilapisi plastik poliethylene 0,2 mm dan
diatasnya dilapisi pasir 5 –
|
|
|
10 cm
|
|
c.
|
Plester dasar (teknik plester pakai sistem
blok)
|
|
d.
|
Untuk elevasi dasar tambak yang lebih
rendah dari permukaan air
|
|
|
laut, maka solusinya dengan cara menimbun
dasar tambak
|
atau
|
|
membuat pematang di saluran keliling yang
kedap air.
|
4.1.3.
Sistim pembuangan
Memastikan
air dapat dikeluarkan dengan sempurna, lumpur tidak mengendap di pipa dan kotoran (limbah organik) dapat dikurangi,
dengan cara :
1. Monik,
dapat mengeluarkan air sesuai pada kolom atau lapisan yang diuinginkan,
2. Monik
harus dirancang agar dapat digunakan
untuk panen sistem kantong dengan dinding di depan monik harus diperkuat agar
tahan terhadap terjangan air,
3. Mampu
atau terdapat sarana untuk melakukan pembuangan setiap 2 jam setelah pemberian
pakan melalui sentral drain dan kolom air melalui pintu air atau PVC,
4. Sentral
drain harus memiliki saringan yang sesuai dengan ukuran udang.
Tolok
Ukur Pekerjaan :
Mampu
mengeluarkan air sesuai dengan kebutuhan.
4.1.4. Elevasi dasar petakan, saluran
pembuangan, dan tendon
Dalam pengupasan tanah dasar, elevasi
dikembalikan seperti semula.
1. Dasar
petakan diatur miring kearah pembuangan dengan slope minimal 0,2%.
2. Beda
elevasi dasar antara petakan pemeliharaan dan saluran pembuangan minimal 25 cm, sedangkan elevasi tandon lebih tinggi
dari saluran tapi lebih rendah dari petak pemeliharaan. Bila elevasi tidak
sesuai maka untuk pengeringan gunakan pompa air.
3. Saluran
pembuangan dapat dikeduk beberapa kali selama pemeliharaan untuk menghindari
pendangkalan oleh kotoran tambak.
4. Dalam
pengupasan tanah dasar, elevasi dikembalikan seperti semula.
Tolok Ukur Pekerjaan;
Air di petak pemeliharaan dapat terbuang
hingga kering.
4.1.5. Rasio luas tandon : petakan
pemeliharaan
Volume
air yang tersedia dalam tandon memenuhi syarat minimum kebutuhan air/hari dan
pergantian air maksimum pada masa kritis (yaitu 30% dari total volume tambak yang beroperasional) sehingga air yang siap pakai dalam 1 hari harus
mencapai 30 % dari areal. Sedangkan untuk petak pengendapan dan penyerapan
nutrient (petak pengolah limbah), dan petak treatment awal memerlukuan areal
tambahan sekitar 20 %.
Tolok Ukur Pekerjaan;
Kualitas air tandon harus lebih baik daripada
air di petak pemeliharaan.
4.2. Tanah dasar
Tanah dasar tambak harus dalam kondisi yang
sesuai untuk kehidupan dan pertumbuhan udang. Hal ini karena sebagian besar
waktu hidup dan mencari makan udang berada di tanah dasar tambak. Oleh karena
itu perlu melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut.
4.2.1. Pengeringan
Pengeringan tanah dasar tambak bertujuan
untuk :
1. Pengatusan
(drainage)
2. Penjemuran
agar gas-gas sisa metabolit dapat
menguap.
Tolok
Ukur Pekerjaan :
1. Kadar
air setelah pengatusan mencapai batas lekat (20 - 50%).
2. Kadar
air setelah penjemuran kurang dari 20%.
4.2.2.
Pengupasan
Pengupasan
dasar tambak penting untuk dilaksanakan, terutama untuk tambak-tambak yang
sudah sering digunakan untuk pmeliharaan udang atau ikan secara intensif.
1. Dilakukan
terhadap bahan endapan yang dapat dibedakan dari warna, tekstur, bau, dll.
2. Dilakukan
pada keadaan lumpur mulai pecah-pecah, kecuali pada tambak dengan dasar keras
atau dilapisi pasir.
3. Bahan
terkupas dipindahkan ke area
pengurusan tanah.
Tolok Ukur Pekerjaan;
Profil sedimen homogen, warna tanah kecoklatan dan tidak berbau.
4.2.3. Pengolahan tanah dasar
Pengolahan tanah dasar tambak meliputi
kegiatan :
1. Pembalikan
tanah dasar bila profil telah homogen untuk menyempurnakan proses oksidasi
dalam tanah
2. Pengapuran
bila pH tanah kurang dari 6,0 dengan dosis sesuai
3. Pemupukan
menggunakan pupuk organik yang telah diolah, dengan
dosis bergantung kesuburan tanah.
4. Untuk
tanah pyrit (reduksi sulfat) dilakukan
pencucian dan pengatusan
berulang-ulang atau reklamasi tanah dasar dengan ketebalan 10 - 20 cm dan pemberian pupuk
organik pada saat tanah masih basah,
kemudian pematang dikapur.
Tolok Ukur Pekerjaan;
1. Tanah
menjadi gembur.
2. pH
meningkat menjadi lebih dari 6.
3. Bahan
organik tanah 5 - 10%.
4. Potensi
redoks > -50mV.
5. Pertumbuhan
fitoplankton stabil.
6. Untuk
tanah pyrit tidak terjadi penurunan pH air dan air tidak bereaksi merah.
Pengapuran berdasarkan kondisi pH tanah
pH Tanah
|
CaCO3
|
Ca (OH)2
|
CaMgCO3
|
> 6
|
<
1000
|
< 750
|
<
920
|
5 – 6
|
< 2000
|
< 1000
|
< 1840
|
< 5
|
<
3000
|
< 1500
|
<
2760
|
Keterangan:
CaCO3 (kapur pertanian), Ca(OH)2 (kapur tohor/gamping), CaMgCO3 (dolomit)
4.3.
Air
Air
merupakan media hidup udang, yang di dalamnya terdapat kandungan oksigen
terlarut untuk pernafasannya, makanan dan sumber beberapa mineral bagi udang.
Oleh karena itu air yang akan digunakan untuk
budidaya udang harus disiapkan agar memenuhi standar kebutuhan tersebut.
Beberapa kegiatan yang harus diperhatikan dalam penyediaan air yang berkualitas
adalah sebagai berikut.
4.3.1.
Air masuk/air pasok
Hal-hal
penting yang harus diperhatikan tentang air masuk adalah :
1. Pilih
lokasi pengambilan air.
2. Tentukan
waktu pengambilan.
Tolok
ukur pekerjaan;
Air yang diambil memenuhi syarat mutu dan
jumlah (kualitas & kuantitas). Untuk syarat kaulitas air dapat dilihat pada
Tabel di bawah ini;
Parameter
|
Kisaran
|
Salinitas
pH Alkalinitas Nitrit Nitrat Amonia Suspensi terlarut (TSS)
|
10
– 35 ppt 7,5 – 8,5 90 – 150 ppm CaCO3 < 0,1 ppm < 1,0 ppm < 0,1 ppm
< 80 ppm
|
|
Selain
persyaratan kimiawi dan fisik tersebut, air yang akan digunakan untuk budidaya udang
harus bersih dari bahan polutan, (seperti dari
jenis logam, pestisida dan bahan
kimia beracun lainnya), serta air sumber tidak keruh.
4.3.2.
Pengendapan
1. Memberikan
tenggang waktu tertentu sesuai dengan jumlah dan mutu air mentah.
2. Membuat
rancangan atau desain untuk
memperbesar peluang proses pengendapan.
Tolok
Ukur Pekerjaan :
1. Kadar
partikel (TSS) dalam air turun hingga kurang dari 60 ppm.
2. Air
tersedia dalam jumlah yang cukup untuk memasok kebutuhan tambak.
4.3.3.
Pemberantasan hama dan atau sterilisasi air
Kegiatan-kegiatan
yang harus dilaksanakan pada tahap ini adalah:
1. Menyaring
air yang masuk menggunakan kasa kelambu pada mulut pipa pemasukan. Kasa kelambu harus dijahit rangkap dan
diperkuat dengan papan penyangga (Splashing board) atau kotak penyangga (holding box).
2. Air
baru dimasukkan ke dalam petak treatment.
Atau air dapat disaring
dengan kantung saringan halus (Plankton net/kasa sablon ukuran 160 mikron)
dengan diameter 50 cm sepanjang 4 – 5 m.
3. Menggunakan
bahan krustasida yang memiliki daya
reaksi yang kuat, dan cepat netral, contoh: Trichlorfon (a.l Dyvon 1 ppm dan
Dipterex 2 ppm) atau Dichlorfon (a.l. Saprovon dengan dosis 0.8 – 1 ppm). Untuk
menetralkan dari pengaruh bahan-bahan tersebut diperlukan 5 – 7 hari.
4. bahan
disinfektan Calsium hypochloride (kaporit), 15 - 30
ppm, pada wilayah dengan tingkat wabah penyakit yang tinggi. Untuk menetralkan
dari pengaruh bahan tersebut diperlukan 1 – 3 hari.
Tolok
Ukur Pekerjaan
1. Bau
khas desinfektan pada saat perlakuan.
2. Populasi
bakteri dan hama moluska menurun.
3. Virion
(partikel virus DNA-RNA) negatif.
4. Pada
akhir proses penetralan sudah tidak tercium bau khas esinfektan.
4.3.4.
Pengendalian penyakit dan hama melalui penanganan suatu kawasan
Petambak
udang idealnya merupakan anggota sebuah
kelompok tambak dalam sebuah kawasan yang memiliki salah satu atau
beberapa persyaratan berikut:
a.
|
memiliki persamaan sistem permodalan.
|
b.
|
memiliki persamaan sistem teknologi
(semuanya sederhana, semi
|
|
atau intensif).
|
c.
|
memiliki persamaan musim tebar.
|
d.
|
memiliki persamaan jenis udang yang
dipelihara.
|
e.
|
dan yang terbaik, bersama dalam suatu
wilayah pengairan.
|
Persamaan kepentingan dalam suatu wilayah akan
berpengaruh erat pada kemudahan pengendalian penyakit.
Penyakit
virus yang mematikan udang windu dapat dengan mudah menular dari sebuah tambak
ketambak lain yang bersisian, berbatasan pematang dan atau memiliki saluran
pembuangan atau pemasukan yang sama. Dalam banyak kasus, tambak udang yang
sehat akan mengalami kematian massal oleh penyakit yang sama hanya dua atau
tiga hari setelah sebuah tambak dipanen prematur akibat serangan penyakit.
Pembentukan
sebuah zonasi yang dikelilingan oleh saluran/tambak pinggir yang berisi ikan
ikanan (mujair/bandeng/kakap atau campuran) akan melindungi tambak udang
tertular dari saluran yang menerima limbah tambak berpenyakit. Saluran ikan
akan secara fisik dan biologis menjaga intrusi partikel virus secara langsung
pada tambak udang yang sehat sehingga akan terhindar dari rangkaian kematian yang
tidak diinginkan.
Secara
diagramatik dapat dilihat pada Gambar 9 di bawah. Sebuah kawasan pertambakan
dibagi dua kelompok dan masing masing kelompok dikelilingi oleh saluran
sekunder yang sengaja diisi ikan dalam jumlah yang cukup padat dan bernilai ekonomis.
4.3.5. Pengapuran air awal
Diberikan kapur dari jenis Ca (CO3)2 dengan
dosis yang sesuai nilai pH dan
alkalinitas air.
Tolok
Ukur Pekerjaan :
1. Alkalinitas air dengan kisaran nilai 100 –
150 ppm (diawal penebaran).
2. Kisaran pH harian berkisar antara 7,5 – 8,3.
3. Fluktuasi pH harian kurang dari 0,5.
4.3.6.
Pemupukan & inokulasi plankton
Pemberian
pupuk sesuai kebutuhan spesifik lokasi.
1. Pemupukan hendaknya dilakukan secepat mungkin
setelah desinfektan netral.
2. Pemupukan standar adalah 3 – 5 ppm dengan
rasio N : P = 2:1, atau tergantung
kandungan N dan P, serta mikronutrien di tambak.
3. Pemupukan susulan dilakukan 2 ppm dengan
rasio yang sama.
4. Inokulan dapat diberikan satu hari setelah
pemupukan, berupa biomas fitoplankton dengan target kepadatan awal 8.000 –
10.000 sel/ml, pada pukul 09.00 sampai 13.00 atau kecerahan 40 – 50 cm.
5. Jenis
inokulan adalah Chlorella murni, Skeletonema murni atau campuran keduanya.
6. Alternatif yang lain adalah : Nanochloropsis,
Chaetoceros, Tetraselmis dan Dunaliella.
Teknik
Alternatif :
1. Aplkasi krustasida misalnya Dyvon atau
Saprovon 1 ppm dan piscicida (saponin 15 ppm) pada sebuah petak/saluran yang
dibendung.
2. Selanjutnya
pada hari ketiga dipupuk anorganik
dengan dosis 5 ppm.
3. Setelah
krustasida netral (5 – 6 hari), plankton di tandon/saluran ini akan tumbuh
pekat dan dapat dipakai sebagai inokulant (bibit) di petak pembesaran dan petak
penampungan air siap pakai.
4. Setelah
inokulasi, kincir dihidupkan.
Tolok Ukur Pekerjaan;
1. kecerahan pada hari kedua mencapai kurang dari
70 cm dan cenderung menurun pada hari berikutnya.
2. Ada perubahan warna dari jernih menjadi
hijau, coklat atau hijau kecoklatan.
3.
Kondisi
tersebut konstan selama lebih dari 3 hari.
Alternatif
Solusi :
1. Menggunakan
saponin 15 ppm dan dedak halus 5 ppm yang telah difermentasi, air
fermentasi diisi dan dipakai kembali hingga 3 hari.
2. Menggunakan pupuk organik (kotoran ayam)
dengan dosis 300 kg/ha setelah melalui proses fermentasi probitik (menggunakan
hasil fermentasi).
3.
Atau
menggunakan keduanya (a dan b) digabungkan.
4.3.7.
Sistem biofiltrasi
Biofiltrasi adalah sistem penyaringan air
dengan menggunakan jasad hidup baik berupa hewani maupun nabati, sehingga air
menjadi relatif bersih dari organisme yang tidak dikehendaki dan bersih dari
unsur-unsur yang beracun bagi kultivan (udang). Sistem biofiltrasi ini
dilakukan dengan cara :
1. Memelihara
jenis-jenis ikan predator, sebagai bioscreening, (contoh: keting,
kerong-kerong, kakap, payus, wering, petek dsb) di dalam petak treatment.
2. Memanfaatkan
tanaman bakau (biofilter) sebagai penyerap residu logam berat dan pestisida
(inlet & outlet) atau petak UPL.
3. Memanfaatkan
rumput laut sebagai penyerap nutrient dan sumber vitamin alami (inlet &
outlet) awal, seluas 20 % wilayah
tandon.
Tolok Ukur Pekerjaan:
1.
Air bebas hama
penular (carier).
2.
Populasi
hama penular tidak melimpah didalam tambak.
3. Kandungan
logam berat, seperti Pb kurang dari 1,16
ppm, Hg kurang dari 0,17 ppm, Cu kurang dari 0,006 ppm dan Cd kurang
dari 0,33 ppm.
4.3.8.
Biosecurity (keamanan dari kontaminasi)
Konsep
biosecurity biasanya diterapkan pada
instalasi karantina atau instalasi produksi pemurnian kultur
jaringan. Dewasa ini, aturan
internasional menerapkan konsep ini di dalam proses produksi udang/ikan. Hal-hal yang diterapkan (Gambar 10) antara lain :
1. Seluruh
lingkaran luar unit usaha diberi pagar untuk mencegah hewan masuk ke dalam unit
tambak (fencing).
2. Air
pasok dipompa masuk ke petak tandon, disaring menggunakakan kantung
plankton net dengan diameter 50 cm sepanjang 4 – 5 m sebanyak 3 – 5 buah di
atur paralel agar tidak mudah robek.
3. Saluran
keliling dilapisi kain kasa (waring)
untuk menjamin tidak adanya organisme lain yang masuk atau keluar.
4. Roda
kendaraan yang mungkin telah berjalan di atas pematang tambak lain harus
melalui dua kolam : kolam pembersihan dan kolam disinfeksi untuk menghindari
adanya kontaminasi.
5. Peralatan
panen, jala, ember, pompa dan kincir bahkan pekerja selalu diberi disinfektan
pada saat baru dikeluarkan atau akan dipakai di salah satu tambak.
4.3.9. Keamanan bagi konsumen
Udang merupakan komoditas ekspor dengan
negara negara maju (jepang, EU, dan Amerika Utara sebagai konsumen). Posisi negara maju sebagai importir akan
tetap bertahan karena mereka berada di wilayah sub tropis yang tidak
memungkinkan untuk membudidayakan udang penaeid yang secara komersil. Keharusan
sebuah negara untuk melindungi dan membiayai kesehatan masyarakatnya
menyebabkan perhatian pada kualitas makananan
yang diimpor negara ini akan menjadi tinggi. Udang yang diekspor ke luar negeri tidak
boleh mengandung zat berbahaya seperti hormon, penyakit manusia, antibiotika,
logam berat, karsinogenik serta senyawa
beracun dan akumulatif.
Ditolaknya
udang beku Indonesia oleh EU dengan alasan terdeteksinya residu antibiotika
telah terjadi sejak tahun 2000 hingga 2007. Peningkatan permintaan udang asal
Indonesia yang tidak terkena isu anti
dumping ternyata tidak bisa dipenuhi negara ini karena banyaknya kendala
kualitas seperti ini selain penurunan produksi akibat serangan penyakit
berjenis jenis virus.
Antibiotika berdasarkan hasil analisis BBPBAP
Jepara sejak tahun 2002 terbukti berasal
dari kandungan bahan ini dalam pakan komersil yang dipakai para petambak tanpa mereka sadari. Hingga awal Tahun 2007
penanggung resiko ditemukannya residu antibiotika adalah pihak cold
storage namun sejak diterapkannya
pengwasan yang lebih ketat, residu antibiotika akan mulai bisa terdeteksi dari
pabrik pakan dan petambak pengguna pakan
tersebut sehingga cold storage dapat menolak produk mereka.
Produk udang hasil tambak seringkali dipanen segar dan diekspor dalam
kondisi beku untuk mempertahankan rasa dan warnanya. Petambak Indonesia masih belum terbiasa pada
sistem sanitasi domestik dalam arti mencegah kontaminasi asal manusia pada
media dan udang yang dipelihatra. Pertambakan harus memiliki WC yang berjarak
jauh dari sistim produksi dan dilengkapi dengan sabun cuci tangan
antiseptik. Seluruh WC harus memiliki
septik tank kedap agar bakteri E coli tidak dapat terdeteksi di sungai, air
tambak dan udang yang dipelihara manusia.
Bakteri E coli sendiri tidak
terlalu berbahaya pada kesehatan manusia
namun adanya E coli menunjukkan adanya peluang jenis penyakit manusia
lain juga hadir. Penyakit menular yang dikhawatirkan dapat ditemukan di udang
beku bersama pencemaran e coli adalah jenis penyakit diare (Amoeba, virus
Eltor) dan penyakit virus hepatitis, campak dan polio.
Dimasa mendatang kondisi pencemaran
mikrobiologis manusia dan udang akan berkurang dengan meningkatnya permintaan
impor udang matang (direbus 15 detik) langsung dibekukan. Namun bila sanitasi lingkungan belum terbiasa
dilakukan, resiko pencemaran dan ditolaknya produk Indonesia akan tetap terjadi dan berdampak buruk pada
produktivitas dan harga jual udang ditingkat petambak.
V. PEMILIHAN, TRANSPORTASI DAN PENEBARAN
BENIH
Keberhasilan dalam kegiatan budidaya tambak
tidak terlepas dari kualitas benih yang ditebar. Tersedianya benih udang tepat
jenis, tepat jumlah, tepat waktu, tepat mutu dan tepat harga tidak hanya mampu
menghasilkan produksi maksimal tetapi juga akan menjamin kontinyuitas produksi
di tambak. Namun demikian, benih merupakan masalah utama di Indonesia karena
masih sedikit panti pembenihan (hatchery) yang mau menerapkan sistem yang terkontrol terhadap kemungkinan adanya
kontaminasi atau terjadinya infeksi
virus yang berbahaya (misal : WSSV).
Sebagai petambak, benih harus dipilih dengan cermat bahkan harus
melewati beberapa tahapan pengujian.
Mengingat arti pentingnya benur, maka langkah
awal pemilihan benur untuk memperoleh kualitas yang prima akan menentukan
keberhasilan kegiatan budidaya di tambak. Penebaran dengan benur yang
berkualitas prima berarti salah satu langkah penting sudah terlaksana dengan
baik. Kualitas benur terutama dari panti pembenihan sangat bergantung oleh manajemen
atau penanganan pada saat pemeliharaan larva sampai menjadi post larva yang
siap dijual kepada para petani, demikian pula termasuk bagaimana penanganan
saat panen, cara pengangkutan dan lama waktu pengangkutan benur tersebut sampai
ke lokasi tambak. Bagaimana prosedur pemilihan benih yang memenuhi standar,
maka dapat dilihat pada uraian berikut ini.
5.1. Pemilihan benih
5.1.1.
Penentuan panti pembenihan udang
1. Menentukan
pembenihan yang telah bersertifikat dan
melaksanakan uji PCR terhadap induk udang windu yang dipakai dan benih yang akan dijual.
2. Menentukan pembenihan yang tidak menggunakan pakan yang
bersifat karier penyakit untuk pakan induknya seperti kepiting, rajungan,
dan udang mentah, serta bebas antibiotik
yang berbahaya.
3. Menentukan
pembenihan yang telah menerapkan konsep biosekuriti.
4. Memilih
pembenihan yang mencuci dan memilah sebagian
benih yang dijualnya dengan formalin 200 ppm selama 30 menit.
5. Memilih
pembenihan yang menerapkan SNI Pembenihan Udang windu.
51.2.
Pemilihan benih
1. Benih
yang layak tebar telah mencapai ukuran
PL12
2.
Kepadatan benih di bak relatif konstan
mulai PL8 - PL12.
3.
Benih abnormal secara visual kurang
1 % dari populasi.
Pada stadia PL10, benih lolos uji salinitas
:
1. 100
ekor PL direndam dalam air tawar.
2. 15
menit kemudian seluruh udang dikembalikan pada air semula.
3. amati
hingga 15 menit dan dihitung persentase udang yang hidup.
4. bila
lebih dari 20 % populasi udang mati, pilih benih dari bak lain.
Kelompok benih yang terpilih melalui uji
salinitas selanjutnya diuji dengan perendaman formalin dengan bahan aktif 37 % formaldehyde (p.a) 200 ppm dengan cara :
1. Minimum
100 ekor PL yang baru ditangkap dimasukkan kedalam ember/toples yang diberi aerasi lalu ditetesi formalin 200
ppm.
2. Setelah
30 menit, air diputar dan hitung udang yang stress dan mati.
3. Bila
jumlah udang yang mati lebih dari 5 % benih tidak dipilih.
5.1.3. Persyaratan kualitatif benih yang
dapat dilihat dan diuji
1. Warna
: warna tubuh transparan, kecoklatan atau kehitaman, punggung tidak berwarna
keputihan atau kemerahan.
2. Gerakan
: gerakan berenang aktip, menentang atau menyongsong arus, cenderung mendekat
ke arah cahaya (fototaksis positif).
3. Kesehatan
dan kondisi tubuh : kondisi tubuh benur yang sehat setelah mencapai ukuran PL
10 organ-organ tubuhnya lengkap, maxilla, mandibulla, antenulla dan ekor
membuka, hepato pancreas transparan, usus penuh dan gelap.
4. Responsif
terhadap rangsangan : benur akan menjentik menjauh dengan adanya kejutan atau
jika wadah sampel benur diketuk, dan akan berenang mendekati sumber cahaya jika
ada rangsangan cahaya, serta responsip terhadap pakan yang diberikan.
5.1.4. Persyaratan kuantitatif
Persyaratan
kuantitatif benur udang windu (Penaeus monodon Fabricius) kelas
benih sebar (PL15) seperti pada Tabel 3 berikut :
Tabel 3 Kriteria kuatitatif benur udang windu
No
|
Kriteria
Kuantitatif
|
Nilai
|
1
|
Umur dari telur (hari)
|
20
–22
|
2
|
Panjang
(mm)
|
10.5
- 11.0
|
3
|
Berat (mg)
|
2.24
- 2.44
|
4
|
Kesehatan/bebas
penyakit (%)
|
>
70
|
5
|
Keseragaman populasi (%)
|
>
80
|
6
|
Daya
tahan (%) terhadap: • penurunan salinitas 30 0 ppt • perendaman formalin 200
ppm
|
>
80 > 90
|
7
|
Rangsangan terhadap cahaya dan aerasi
|
Positif
|
5.1.5.
Panen dan pengemasan
1. Benih
yang telah terpilih dipastikan telah mendapat tambahan artemia 4 jam sebelum
panen dilakukan.
2. Benih
diberi pakan pada saat air diturunkan.
3. Dasar
bak dipastikan telah disifon sebelum benih dipanen.
4. Pemanenan
harus dilakukan tidak pada saat benih akan/saat
molting (catat jam molting
sebelumnya).
5. Benih
ditampung pada wadah yang berisi air dengan salinitas, pH dan suhu yang sama
dengan air di bak, atau melalui pencampuran air steril baru 1 : 1
5.2.
Transportasi.
Beberapa
hal yang perlu diperhatikan dalam transportasi
benih adalah sebagai berikut (Tabel 4) :
Tabel
4. Perhitungan teknik transportasi PL udang windu yang direkomendasikan
Jarak
tempuh
|
Air
bak : Air baru steril
|
Volume Air : Oksigen
|
Kepadatan (ekor/ liter)
|
Temperatur
|
<4 jam="" span="">4>
|
Air bak pemeliharaan
|
60 : 40
|
1.500
|
Alami, sejuk
|
8 –
12 jam
|
1 :
1
|
50 : 50
|
1.000
|
22 – 24o C
|
12
– 20 jam
|
Seluruhnya air baru
|
50 : 50
|
750
– 1.000
|
22o C
|
Transportasi benih harus dilakukan dalam
kondisi sejuk (sering dipilih malam hari) atau dalam kendaraan yang berpenutup
dan berventilasi baik.
5.3. Penebaran benih.
Benih
yang akan ditebar harus memenuhi kriteria kondisi benih dan kualitas air
transportasi telah sesuai dengan air tambak, agar hasilnya lebih memuaskan.
5.3.1.
Kesiapan Tambak.
1. Harus
dipastikan air telah netral dari pengaruh krustasida (Dyvon, Dipterex atau
Saprovon) kurang lebih telah mencapai
hari ke 6.
2. Bebas
atau minim dari residu klorin terlarut (maksimum 0.5 ppm klorin bebas).
3. Harus
memiliki oksigen terlarut minimum 4 ppm, selisih salinitas air di panti
pembenihan dan air di tambak kurang dari 5 permil, tidak terjadi
stratifikasi/perlapisan salinitas dan suhu. Stratifikasi air bisa dicegah
dengan mengoperasikan aerator dalam jumlah optimum.
4. Sedapat
mungkin telah memiliki populasi fitoplankton yang cukup (kecerahan 40 – 50 cm).
5. Untuk
menghindari pertumbuhan Dinoflagellata
air yang telah dipersiapkan di
ukur rasio N : P. Bila rasio N : P = 15
: 1 (terlalu tinggi) maka harus dipupuk
dengan pupuk fosfat (P2O5 ) agar rasio
kurang dari 10 : 1. pada tingkat P total (eq
orthofosfat) minimal 0.1 ppm.
6. Tidak
ada ikan penyaing dan pemangsa (misal melalui aplikasi saponin 3 hari sebelum
penebaran; dengan dosis 15 ppm).
7. Siapkan
salah satu sudut yang diberi penyekat bambu agar wadah benur mengumpul, atau
melalui hapa transisi untuk penebaran.
5.3.2.
Persiapan adaptasi benih di tambak.
Pada
saat benih sampai ditambak tempat penebaran, beberapa plastik pembungkus benih harus diambil untuk diperiksa
kondisinya :
1. Benih
pada saat dibuka dari plastik masih menunjukkan aktivitas yang normal.
2. Pada
transportasi dingin (jarak jauh) benih pada saat baru dibuka biasanya masih
tidak aktif.
3. Pilih
plastik-plastik yang bocor dan atau berair keruh karena benih yang berada di
dalamnya hampir selalu lemah dan sebaiknya tidak usah ditebar (kecuali masih
bergerak normal).
4. Adaptasikan
suhu, salinitas dan pH air transportasi dengan air tambak dengan cara mengapungkan
plastik (adaptasi suhu) dan mencampurkan sebagian air tambak ke dalam
plastik-plastik sedikit demi sedikit yang telah dibuka (adaptasi salinitas dan
pH air) (Gambar 12).
5. Hindari
menjemur plastik tertutup lebih dari 30 menit
walaupun plastik terletak di dalam air karena temperatur dalam plastik
akan meningkat drastis dan membunuh benih yang belum ditebar.
6. Hitung
tenaga penebar benih karena dalam 30 menit seseorang hanya mampu
mengadaptasikan 8 - 12 kantung plastik dengan hati-hati.
Penebaran
benih dilakukan dengan menempatkan kantong di pojok tambak dan ditahan dengan
bambu untuk menahan agar tidak arus. Penebaran
dilakukan pada pagi atau sore hari untuk menghindari stress.
VI.
MANAJEMEN AIR DAN LUMPUR.
Pengelolaan air dan lumpur dasar tambak pada prinsipnya adalah usaha untuk mempertahankan kualitas
lingkungan tambak, meliputi air dan lumpur dasar pada kisaran nilai parameter
yang layak serta menekan terjadinya fluktusi lingkungan yang tinggi. Dengan
demikian kehidupan dan pertumbuhan udang
yang dipelihara dapat tumbuh maksimal
dengan energi dan input nutrisi yang
minimal.
Udang
yang dipelihara dalam tambak akan melepaskan sisa hasil metabolismenya ke kolom air, dan sisa pakan yang tidak termakan akan mencemari
tambak. Seluruh bahan organik tersebut
akan menimbulkan polusi yang ditandai
dengan terjadinya stress, pertumbuhan yang lambat, kehilangan nafsu
makan, serangan penyakit dan bahkan kematian sebagian atau massal. Untuk mengatasi masalah tersebut
diperlukan teknik manajemen air dan lumpur dasar tambak.
6.1.
Pengisian air.
Pengisian
air pada tambak udang intensif ramah
lingkungan pada masa pemeliharaan, baik air baru maupun air dalam proses
resirkulasi harus melalui petak biofilter. Petak ini berisi ikan karnivora dan
herbivora. Ikan karnivora berperan untuk mengurangi resiko masuknya hama
penular yang terinfeksi virus, seperti udang-udang liar. Ikan hervibora dapat
mengendalikan kepadatan plankton atau tanaman air lainnya. Petak biofilter juga
berisi tanaman atau tumbuhan air yang berfungsi untuk menyerap nutrien hasil
perombakan bahan organik.
6.2.
Penggantian air.
Pergantian
air dilakukan bila telah terjadi penurunan parameter kualitas air tambak.
Secara visual dapat dilihat dari perubahan warna air menjadi jernih dan
terdapat suspensi dalam air akibat kematian plankton (Tabel 5). Perubahan ini
juga ditandai banyaknya buih relatif besar (lebih dari 2 cm) dan tidak pecah pada jarak 6 m dari kincir.
Sedangkan indikasi kimiawi terlihat
dari kandungan bahan organik yang tinggi
(lebih dari 60 ppm) dan BOD yang lebih dari 10 ppm.
Tanda-tanda
penurunan kualitas air terlihat dari :
1.
Nafsu makan menurun (sisa pakan di anco >
20 % dari normal).
2. Populasi
total bakteri > 10 6 CFU/ ml.
3.
Populasi Total Vibrio > 10 3 CFU/
ml.
4. Ekor
udang banyak yang berwarna merah (red
discoloration).
5.
Banyak partikel plankton mati di kolom air.
Proses
pergantian air dilakukan dengan cermat
sehingga tidak terjadi perubahan kualitas air secara mendadak atau dratis
terutama perubahan salinitas. Hal ini
untuk mengurangi stress pada
udang. Perubahan salinitas air tambak akibat pergantian air tidak boleh
melebihi 3 ppt per hari. Untuk
menghindari perubahan salinitas yang drastis pada saat terjadi hujan dengan cara menghidupkan kincir (untuk
pengadukan).
Teknik
pergantian air dengan cara membuang air yang banyak mengandung kotoran atau
lumpur organik terutama pada bagian dasar tambak. Oleh karena itu desain pintu
pembuangan dan konstruksi tambak dibuat agar dapat membuang air bagian dasar
atau lumpur dasar maupun air bagian atas. Pembuangan kotoran atau lumpur dasar
dapat juga dilakukan dengan penyiponan. Penambahan air untuk mengganti air
dalam petakan tambak sampai pada ketinggian air yang ditentukan menggunakan air
dari petak biofilter.
Jumlah
pemutaran/pergantian air dari tandon ikan ke petak pembesaran udang dengan
kepadatan 30 – 50 ekor/m2, diatur
sebagai berikut :
Bulan
1
|
:
|
5 - 10%, setiap 15 hari.
|
|
Bulan
2
|
:
|
5 – 10 % setiap 7 – 10 hari.
|
|
Bulan
3
|
:
|
10 – 15%
|
setiap 7 hari.
|
Bulan
4
|
:
|
15 - 30 % setiap 3 – 5 hari.
|
Tabel
5. Kriteria dan kategori kualitas air tambak secara fisik-kimiawi
|
Parameter
kualitas air
|
Saat Penebaran
|
Air di petak ikan/ reservoir
|
Pertengahan dan akhir pemeliharaan
|
Air pembuangan
|
Suhu
(oC)
|
26
– 29
|
27 – 32
|
27
– 32
|
27 – 32
|
DO
minimum (ppm)
|
4
|
> 3.5
|
4.5
|
3
|
BOD
(ppm O2)
|
|
|
<
0.2
|
< 10
|
pH
|
7.8 - 8.5
|
7.8 – 8.5
|
7.8 - 8.4
|
7 – 9
|
Alkalinitas
(ppm)
|
90
150
|
90 - 150
|
90
– 150
|
100 - 150
|
Transparansi
(cm)
|
40 – 50
|
30 - 50
|
30 - 40
|
30 – 40
|
Suspensi
terlarut (ppm)
|
<30 span="">30>
|
< 20
|
<
40
|
< 30
|
Salinitas
(ppt)
|
10 -35
|
10 – 35
|
10 -35
|
10 – 35
|
Ammonia
(ppm)
|
<
0.5
|
< 0.3
|
<
0.4
|
< 0.5
|
Nitrat
(ppm)
|
<0 span="">0>
|
<0 span="">0>
|
<0 .4="" span="">0>
|
<0 span="">0>
|
Nitrit
(ppm)
|
<
0,1
|
<0 span="">0>
|
<
0,1
|
< 0,1
|
Phosphat
(P2O5) (ppm)
|
<0 span="">0>
|
0,30
|
0,35
|
0,25
|
Total
Vibrio (CFU/ ml)
|
102
|
103 – 10 4
|
103 – 10 4
|
< 104
|
Logam
berat 1. Hg (ppm) 2. Pb (ppm)
|
<0 ppm="" span="">0>
|
<0 ppm="" span="">0>
|
<0 ppm="" span="">0>
|
<0 ppm="" span="">0>
|
6.3. Mananajemen kualitas air.
6.3.1.
Suhu air.
Suhu
air tambak tergantung cuaca dan berpengaruh langsung terhadap nafsu makan.
Hasil kajian menunjukkan bahwa meskipun
suhu mencapai 34o C pada siang hari, udang hidup dan tumbuh normal. Hasil
pengamatan laju komsumsi pakan, pada suhu 26o C nafsu makan turun hingga 50
%.
Suhu
dalam air terutama pada bagian dasar tambak juga di pengaruhi oleh kepadatan
partikel yang dapat di ukur tingkat kecerahan dengan sechi disk. Kepadatan
pertikel dalam air termasuk plankton akan menghalangi penetrasi cahaya masuk
dalam air sehingga suhu air di dasar lebih rendah daripada di permukaan.
6.3.2.
Salinitas.
Fluktuasi
harian salinitas pada petak pembesaran udang di pertahankan tidak lebih dari 3
ppt untuk mennghindari stres pada
udang. Oleh karena itu fungsi
tandon sebagai persediaan air dapat digunakan untuk menekan fluktuasi
salinitas yang tinggi. Sebelum melakukan
pergantian atau penambahan air, dilakukan pengontrolan salinitas antara petak
pembesaran udang dan petak biofilter sehingga perlakukan pergantian atau
penambagan air tidak merubah salinitas melebihi 3 ppt.
6.3.3.
pH air.
Pengukuran
pH air terutama pada air bagian dasar dilakukan pada pagi jam 05.00 (sebelum
matahari terbit) dan sore hari sekitar jam 16.00. Nilai pH air yang optimal
adalah 7,8 – 8,2 dengan kisaran
fluktuasi pH pagi dan sore adalah 0,2-0,5. Oleh karena itu bila pH turun
hingga mendekati 7,0 dilakukan pengapuran dengan kapur Ca (CO3)2 atau dolomite
dosis 3 - 5 ppm. Sebaliknya bila pH naik mendekati 8,8 segera dilakukan pemberian molase (tetes tebu) dosis 3 ppm.
Cara ini dilakukan tiap 3 hari sekali
hingga nilai kisaran pH normal. Nilai fluktuasi pH yang tinggi, yaitu
lebih dari 0,5, menunjukan bahwa
karbonat dalam air sebagai penyangga (buffer) kurang. Karbonat dapat diukur
dari alkalinitas. Biasanya apabila nilai alkalinitas kurang dari 90 ppm, akan
mengakibatkan fluktuasi pH harian tinggi, sehingga perlu penambahan
kapur untuk meningkatkan carbonat. Sebaliknya bila fluktuasi kurang dari 0,2
atau bahkan sore hari sama dengan pagi hari, menunjukkan fotosintesis tidak
berjalan dengan normal, sehingga
perlu aerasi untuk meningkatkan kandungan oksigen terlarut.
6.3.4. Alkalinitas.
Alkalinitas
dipertahankan pada nilai 90 - 150 ppm. Alkalinitas yang rendah atau kurang 90
ppm harus dilakukan pengapuran sehingga alkalinitas mencapai angka sesuai
dengan kisaran. Jenis kapur yang digunakan disesuaikan dengan kondisi pH air
sehingga pengaruh pengapuran tidak membuat pH air tinggi. Jenis kapur
disesuaikan dengan keperluan dan fungsinya, segai contoh kapur hidroksida Ca(OH)2 diaplikasikan untuk
menaikan alkalinitas sekaligus menaikan pH air. Bila pH air sudah tinggi, maka
untuk menaikan alkalinitas digunakan jenis kapur carbonat (CaCO3) atau kaptan
(Tabel 6).
Tabel
6. Jenis kapur dan penggunaan
No
|
Jenis
kapur
|
Fungsi
|
1
|
Kapur gamping (CaO)
|
Menaikan
pH dan suhu
|
2.
|
Kapur
Tohor /hidroksida Ca(OH)2
|
Menaikan
pH
|
3
|
Kapur dolomit atau kaptan (CaMg(CO3)2
|
Menaikan
karbonat dan sedikit pH, dan sebagai pupuk
|
4
|
Kapur
karbonat (CaCO)3
|
Menaikan
karbonat dan sedikit pH
|
6.3.5.
Kecerahan.
Nilai
kecerahan diukur dengan sechi disk,
sebagai tolok ukur kepadatan partikel termasuk plankton dalam air.
Perbedaan kecerahan karena plankton dengan partikel terlarut adalah dengan mengamati air dalam gelas atau
botol plastik. Kekeruhan akibat partikel atau suspensi terlarut ditandai akan
terjadi pengendapan setelah air didiamkan dalam botol atau gelas. Sedangkan
kekeruhan akibat plankton ditandai air tidak banyak berubah atau tidak terjadi
pengendapan.
Fitoplankton
akan tumbuh apabila unsur hara (pupuk) tersedia di air.
Penumbuhan fitoplankton juga bertujuan untuk menghindari pertumbuhan klekap, lumut dan makro algae
lainnya. Pada awal masa pemeliharaan
fitoplankton tidak stabil, karena adanya keterbatasan unsur hara yang
diperlukan. Oleh karena itu perlu
dilakukan pemupukan berimbang, fermentasi bekatul dengan probiotik dan
penambahan inokulan fitoplankton.
Kecerahan
plankton dipertahankan pada kisaran 30 - 40 cm.
Kecerahan diamati setiap hari sekitar jam 09.00 dan di data sehingga
dapat diketahui kecenduran kepadatan
flankton harian. Bila kecerahan meningkat hingga lebih dari 40 Cm, perlu dilakukan
pemupukan untuk meningkatkan pertumbuhan flankton. Jenis pupuk yang digunakan
ialah pupu anorganik, yaitu Urea dan TSP dengan perbandingan 1 : 1, dengan
dosis 3 – 5 ppm dan pupuk mikro nutrien. Pemupukan susulan dilakukan setia 5 –
7 hari hingga flankton stabil. Unsur pospat (P205) sangat menentukan
pertumbuhan flankton. Kandungan minimal pospat minimal 0,25 ppm.
Kepadatan
plankton dan partikel terlarut dalam air
berpengaruh terhadap kandungan oksigen terlarut. Pada saat kecerahan rendah
akan menghambat penetrasi cahaya ke dalam air, sehingga plankton di bagian
bawah tidak dapat melakukan fotosintesa, sehinga kandungan oksigen di dasar
rendah.
6.3.6.
Ciri-ciri fitoplankton dan potensinya.
a.
Warna hijau gelap (Cincau).
Merupakan
indikasi air didominasi jenis algae hijau
dari jenis Chlorella spp kadang-kadang juga ditemukan Platymonas,
Carteria dan Chlamidomonas. Pada tambak dengan salinitas rendah, Scenedesmus
dan Euglena lebih dominan. Warna hijau
muda ini merupakan warna favorit karena stabil. Kecerahan air yang disebabkan
oleh fitoplankton dipertahankan pada level 30 – 40 cm. Bila kecerahan lebih
dari 40 cm atau kurang dari 30 cm akan mengakibatkan kualitas lingkungan tidak
stabil.
b.
Warna hijau biru.
Warna
ini merupakan warna yang mencirikan predominansi alage hijau biru dengan
meningkatnya suhu air rata-rata dan kelarutan bahan organik di air. Kasus-kasus
penyakit cangkang lunak, udang biru dan pertumbuhan lambat mulai sering terjadi
pada air berkondisi demikian.
Jenis-jenis yang umumnya ditemukan hingga 90 % populasi adalah dari
genus Oscillatoria, Phormidum dan Microccoleus. Pada air dengan warna ini
sering juga dirtemukan Lyngbya, Chroococcus, Spirulina, Anabaena dan
Synochecytis.
c.
Warna hijau kuning.
Warna
ini ditimbulkan oleh algae flagellata kuning keemasan dari genus Chlamidomonas,
Hymenomonas, Rhodomonas, Chilomonas dan Pavlova serta bercampur dengan
flagellata hijau sepeti Dunaliella dan Carteria. Jenis flagellata kuning dipicu
pertumbuhannya oleh bahan organik anaerobik di tanah sehingga warna ini dapat
menimbulkan hambatan pertumbuhan bahkan kematian udang. Pergantian air sangat
dianjurkan dan harus diimbangi dengan penambahan jumlah dan opersioanal kincir
air.
d. Warna Coklat Tua
Warna
air tambak yang coklat tua ini adalah warna yang paling tidak disukai operator
tambak karena mengandung Dinoflagellata (Brown Algae). Kondisi ini sering
ditemui pada tambak yang telah mencapai masa akhir menjelang panen dengan dasar
tambak yang telah banyak mengandung bahan organik dan kesulitan mengganti
air. Air di tandon yang terlalu lama,
jernih dan tidak ada ikannya juga akan didominasi Dinoflagellata. Jenis-jenis
plankton yang tergolong dinoflagellata adalah litochdiscus, Prococentrum,
Peridinium, Ceratium, Gymnodinium, Gonyaulax, Noctiluca dan kadang kadang
ditemukan Chilomonas, Euglena dan PLatymonas.
Masalah
kesehatan sering timbul dengan air yang berwarna coklat tua ini diantaranya,
insang merah, insang hitam dan insang bengkak. Beberapa jenis dinoflagellata
ini dapat menghasilkan racun casilaxin -PSP- (Paralytic Shellfish Poisoning)
atau racun glenodine yang toksik bagi ikan dan kerang.
Bila
Dinoflagellata sulit diatasi maka udang yang dipelihara akan menderita dengan
beberapa ciri-ciri fisik :
1.
Tubuh udang berwarna biru gelap.
2.
Antena pendek dan melingkar.
3.
Tutup insang melipat keluar.
4.
Ruas-ruas tubuh cekung kurus.
5. Ekor
melipat dan tubuh bergelombang.
e.
Warna keruh keputihan.
Merupakan
salah satu warna yang berbahaya karena menunjukkan fitoplankton yang dikonsumsi
zooplankton dan air dipenuhi populasi zoopankton. Jenis-jenis yang sering ditemukan adalah :
1. Cilliata
: Febria, Frontonia, Nassula dan Trachelocerca.
2. Rotifera
: Lecane, Synchaeta dan Brachionus.
3. Copepoda
: Acartia, Tenora dan Centropage.
4. Nauplius
teritip (Barnacle).
Untuk
menghindari hal tersebut maka perlu dilakukan penggantian air atau dengan
menggunakan Protam (1,5 pentadial 50 EC) dengan dosis 1 ppm.
f.
Warna coklat kekuningan.
Merupakan
air yang didominasi oleh diatom dari genus Chaetoceros, Nitzchia, Cyclotella,
Synedra, Acanthes, Ampora dan Euglena. Warna ini biasanya membuat panik
pengelola tambak karena tidak dilihat di bawah mikroskop sehingga cenderung
berusaha mengganti air (hal yang tidak perlu).
Hanya jenis diattom Biddulphia yang
berpotensi membuat udang stress bila populasinya terlalu tinggi.
6.3.7.
Pembuangan jenis pankton melalui pintu
air.
Plankton
negatif dan posistif yang ditemukan dalam air tambak dapat dikendalikan
populasinya dengan manajemen pembukaan pintu air (monik), dengan mengenal
karaketristik lapisan air yang disenangi masing masing plankton seperti
terlihat pada Tabel 7.
Tabel
7. Lapisan air yang dihuni berbagai jenis plankton dalam jangka waktu berbeda
Lapisan
air di Tambak
|
Pagi
pk 08.00
|
Sore
pk 15.00
|
Malam
pk 03.00
|
1.
Permukaan
|
Cyanophyceae
|
Ciliophora
Phytoflagellata Annelida
|
Dinoflagellata Arthropoda
Rotifera
|
2.
Tengah Air
|
Ciliophora
Phytoflagellata Dinoflagellata Arthropoda Rotifera
|
|
|
3.
Dasar
|
Annelida (cacing)
|
Dinoflagellata
Arthropoda Rotifera
|
Cyanophyceae Ciliophora Phytoflagellata
Annelida
|
Keterangan: Biodata dengan huruf tebal merupakan jenis yang harus diperhatikan kemelimpihanannya
(tidak boleh lebih dari 50 %) melalui mengamatan pada sendwich rafter atau
haemocytometer.
6.3.8.
Penumbuhan plankton
a. Penumbuhan
plankton dilakukan setelah air di petakan bebas dari kandungan
desinfektan. Pada dasarnya, fitoplankton
akan tumbuh bila tersedia media, nutrient dan inokulan. Penumbuhan/kultur
plankton di tambak tidak lebih dari pada menumbuhkan “native” species meski
pada sistem budidaya yang semakin berkembang penambahan inokulan dari luar
sistem sudah mulai dilakukan. Kebanyakan species plankton mudah tumbuh.
Atmosfer mengandung spora dan bagian vegetatif dari bermacam species. Beberapa jenis burung juga dapat menjadi
media penyebaran Fitoplankton. Spora maupun bagian vegetatif dari
fitoplankton dapat bertahan hidup di
saluran pencernaan dan dikeluarkan bersama faeces.
b. Dibanding
dengan faktor pembatas lain, nutrient sepertinya mempunyai porsi terbesar untuk
suksesnya penumbuhan plankton.
Kebutuhan nutrien untuk
pertumbuhan didapatkan dari sekitarnya, sehingga lingkungan harus menyediakan
sejumlah nutrien yang diperlukan. Kolam
dengan input pakan akan memperoleh tambahan nutrien baik dari sisa pakan maupun
hasil metabolisme dari pakan tersebut
oleh ikan, udang atau hewan peliharaan yang lain. Sementara kolam-kolam yang
mengandalkan kelimpahan pakan alami, nutrient tersedia dari berbagai proses
alamiah yang terjadi di ekosistem tersebut. Secara umum, C (Carbon),
N (Nitrogen) serta P (Phospor) adalah tiga jenis unsur utama yang secara signifikan banyak
berpengaruh terhadap pertumbuhan fitoplankton.
Carbon diperoleh dari diffusi gas CO2, sementara N dan P diperoleh dari bahan anorganik.
c. Apabila
lingkungan tidak dapat menyediakan nutrient sesuai dengan jumlah yang
diperlukan, maka penambahan nutrient dari luar mutlak diperlukan sehingga
pemupukan adalah bagian yang tak terpisahkan pada tahapan – tahapan penumbuhan
plankton.
d. Jenis
pupuk anorganik yang umum digunakan adalah Urea
(46–0-0), Ammonium phospat (16–20-0) atau superphospat (16–16-16) yang dapat
diaplikasikan pada masing-masing 5 – 10 ppm dan 2 – 4 ppm. Pupuk anorganik harus direndam sebelum
disebarkan. Jika diberikan dalam bentuk
padatan, dikhawatirkan sejumlah pupuk akan terakumulasi di satu tempat di dasar
kolam dan akan memicu tumbuhnya plankton dasar.
e. Pemberian
inokulan untuk mempercepat tumbuhnya plankton dapat dilakukan dengan
menambahkan konsentrat Chlorella, sehingga kepadatan awal di tambak 20.000
sel/ml. Konsentrat Chlorella didapat
dengan memflokulasikan kultur Chlorella dengan penambahan soda api. Inokulasi konsentrat Chlorella dapat dilakukan
satu hari setelah pemupukan dengan cara menyebarkannya secara merata ke seluruh
bagian petakan.
f. Proses
tumbuhnya plankton memerlukan waktu beberapa hari sampai dicapainya kondisi
yang stabil. Idealnya dalam beberapa
hari tersebut warna air akan berubah menjadi lebih hijau atau coklat dengan
kecerahan sekitar 40 – 50
cm. Pada perairan-perairan yang sangat miskin atau plankton yang ada telah mati
akibat chlorinasi, plankton mungkin tidak akan tumbuh dalam beberapa hari. Atau
juga bukan tidak mungkin plankton yang telah tumbuh akan mati dengan tiba-tiba
sehingga air akan kembali menjadi jernih.
Pada kasus seperti ini disarankan untuk menambahkan sejumlah “green
water” dari kolam lain. Harus
dipastikan bahwa kolam donor berada pada kondisi sehat.
g. Apabila
plankton tidak tumbuh dalam
beberapa hari setelah pemupukan, tidak disarankan untuk melakukan pemupukan
ulang. Pemupukan ulang pada kondisi air jernih malah akan memacu tumbuhnya
klekap (benthic algae). Penambahan dosis pupuk dapat dilakukan pada
tambak-tambak dengan type substrat dasar kandungan nutrien lebih rendah,
misalnya pada tanah yang banyak mengandung pasir. Penambahan pupuk yang disarankan adalah 5 –
10 % dari dosis normal.
6.3.9.
Manajemen fitoplankton.
a. Keberadaan
fitoplankton tambak pada dasarnya sangat diperlukan. Fitoplankton adalah bagian
dari komunitas mikroba yang berperan dalam mengatur
kondisi kultur yang diinginkan. Selain
dapat memanfaatkan sisa nutrient,
keberadaan fitoplankton juga mengurangi intensitas cahaya, memproduksi oksigen, menstabilkan temperatur
serta memberikan kontribusi akan kebutuhan
nutrient bagi organisme yang dipelihara. Pada tipe budidaya yang semakin beragam, model pengelolaan
fitoplankton harus disiasati sehingga didapatkan
kondisi ambient pada kepadatan tertentu yang merupakan ukuran ideal.
Perlu disadari juga bahwa kebanyakan problem kualitas air adalah
resultan dari beberapa faktor
yang pada awalnya merupakan efek dari keberadaan fitoplankton
yang tidak terkelola dengan baik.
b. Fitoplankton
akan berada pada kondisi yang diinginkan bilamana dikelola dan dicermati
berbagai fluktuasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam pertumbuhannya. Secara umum, plankton yang berwarna hijau
atau hijau kuning akan lebih mudah dipertahankan dari pada yang berwarna
coklat. Pada kolam–kolam dengan tingkat salinitas sangat rendah, jenis alga
hijau biru kemungkinan akan muncul.
Jenis ini tidak begitu memberikan kontribusi pada kandungan oksigen
terlarut dan bahkan cenderung membahayakan ikan/udang yang dipelihara.
c. Problem
umum yang sering muncul pada awal-awal masa produksi adalah kematian plankton
akibat kekurangan nutrien atau CO2. Kondisi ini dapat terjadi dengan tiba-tiba
dan menyisakan sedikit plankton yang masih hidup. Plankton yang mati akan
menyebabkan munculnya busa dalam jumlah besar di permukaan dan juga deposit
material di dasar. Pada akhir masa pemeliharaan, problem biasanya terkait
dengan kepadatan yang berlebih. Jika plankton terlalu padat dan air tidak
diaerasi secara terus menerus sebagian plankton akan mati karena tidak
mendapatkan cahaya yang cukup. Kematian juga sering terjadi karena perubahan
kualitas air yang dramatis seperti adanya hujan yang sangat lebat.
d. Untuk
menjaga kondisi plankton yang stabil, perlu untuk menambahkan sejumlah nutrien,
CO2 dan cahaya. Nutrien dapat ditambahkan dalam bentuk pupuk anorganik dengan
dosis 3 – 5 ppm. CO2 dipasok dari atmosfir, respirasi hewan piaraan,
respirasi fitoplankton dan bakteri, alkalinitas serta pengapuran. Penetrasi
cahaya matahari dapat ditingkatkan dengan memutar air dengan kincir atau
mengurangi densitas dengan penggantian air.
e. Penggantian
air adalah cara paling mudah untuk menurunkan kepadatan plankton pada
kolam-kolam yang dikelola dengan sistem tertutup. Pada kolam yang menggunakan
sistem tertutup, penggunaan
bahan kimia lebih sering dilakukan untuk mengontrol kepadatan. Harus diwaspadai jenis, dosis serta efek dari
bahan kimia tersebut apabila diaplikasikan.
Pada umumnya jenis yang digunakan adalah BKC (Benzal Konium Chloride)
pada dosis 0.1 – 0.5
ppm serta formalin pada dosis 10 – 20 ppm.
6.3.10.
Oksigen terlarut
a. Kandungan
oksigen terlarut merupakan parameter kualitas air utama pada pembesaran udang
di tambak. Kebiasaan udang windu adalah
mempunyai aktivitas pada dasar perairan. Oksigen terlarut terutama pada air
dasar tambak tidak kurang dari 4 ppm.
b. Fluktuasi
kandungan oksigen terlarut sangat ditentukan kepadatan biota yang ada dalam air
terutama fitoplankton dan tanaman air lainnya yang merupakan produsen primer.
Untuk menjaga oksigen terlarut tetap pada kondisi yang optimal adalah dengan
memanfaatan proses fotosintesa, penggunaan aerasi.
a. Pengaturan kincir air.
Kincir air diperlukan untuk :
1.
Suplai O2 di air
2.
Mengoksidasi permukaan dasar
3.
Membuat kotoran tersuspensi dan teroksidasi
di kolom air
4.
Mengatur
arus air dan menentukan
penumpukan lumpur organik
5.
Menghilangkan
pelapisan air oleh suhu dan salinitas dan menghomogenkan kelarutan oksigen
b.
Kebutuhan kincir dari biomassa udang.
1. Kincir
air dipasang sesuai dengan kebutuhan minimal pada bulan pertama pemeliharaan. Pada bulan kedua
pemeliharaan, total kincir harus sudah terpasang sesuai dengan target produksi
berdasarkan data SR terakhir. Sebuah
tambak tidak memerlukan kincir hingga produksi biomassa udang mencapai 500
kg/Ha dengan pertumbuhan normal. Kincir
dapat tidak dipasang pada biomassa 700 kg/ha dengan pertumbuhan lambat.
2. Untuk
pertumbuhan tetap normal, kincir dipasang setelah biomassa > 500 kg/ha
dengan perhitungan bahwa 1 kincir 1.5 HP dapat menunjang kehidupan 250 kg – 300
kg udang bila dasar tambak sudah tua atau tidak dapat dibersihkan. Satu kincir
dapat menunjang kehidupan hingga 400 kg
bila dasar dapat dibersihkan.
c. Kebutuhan kincir dari kejenuhan oksigen di air.
1. Berdasarkan
kandungan oksigen terlarut, kincir di tambak dihidupkan hanya ½ jumlah total pada bulan ke tiga hingga ke
empat apabila tingkat kejenuhan diatas 100 % jenuh. Kincir harus seluruhnya
dihidupkan apabila tingkat kejenuhan hanya mencapai 50 %.
2. Tingkat
kejenuhan dihitung dengan mencocokkan kelarutan oksigen terukur (DO), salinitas, temperatur dengan tabel kejenuhan.
Angka yang terukur dibagi angka seharusnya di Tabel dan dikalikan 100 %
= tingkat kejenuhan di air pada saat itu (%).
Arah
kincir air harus dipasang sesuai dengan :
1. Arah
pengendapan antar masing masing kincir berjarak 12 - 15 m dan
2. Arah
pembuangan lumpur (pintu air) harus lebih besar dari 15 m
Kriteria
pemasangan kincir yang benar :
1. Tidak
ada pengendapan lumpur halus di dasar tambak lebih dari 10 cm
2. Redox
potensial tanah tidak mencapai – 250 mV
3. 70 %
wilayah tambak di dasar, memiliki DO minimum lebih dari 4 ppm
d.
Penggunaan blower sebagai pemasok oksigen terlarut.
Dewasa
ini telah tersedia berbagai jenis blower yang dapat dipergunakan sebagai
pemasok oksigen di tambak dengan hasil kelarutan oksigen yang lebih efisien per
satuan tenaga yang diperlukan sebagai penggerak mesin. Blower untuk keperluan
aerasi ditambak tersedia dalam tiga bentuk umum :
1. Rotary
Blower/Rootblower, merupakan blower dengan tenaga yang kuat untuk tambak/ bak
dengan kedalaman > 1 m dan untuk
memompa untuk jarak yang jauh serta titik yang banyak. Pada umumnya jenis ini
dipakai di pembenihan atau di unit pengolahan air minum namun sangat baik untuk
dipergunakan di tambak.
2. Vortex
Blower, alat ini berprinsip putaran cepat akan menghasilkan volume angin yang
banyak, hanya kelemahannnya adalah suaranya yang bising dan tekanan yang rendah
< 60 cm dalam serta jarak tiup udaranya yang terbatas
3. TurboJet,
merupakan blower khusus tambak yang dapat digerakkan oleh motor listrik maupun langsung dari penggerak diesel (dengan resiko menghisap asap)
Keterangan
: Posisi Pemasangan kincir dapat dilihat
pada Bab Persiapan Tambak.
Pemasangan
blower di tambak bisanya melalui pipa utama 2 inch dengan cabang sekunder 1
inch dan pipa terakhir berukuran ¾ inch. Lubang aerasi masing masing
berjarak 3 m dan antar pipa terakhir
berjarak 5 m. Lubang aerasi adalah pipa
yang dibor dengan mata bor berukuran terkecil dan menghadap ke dasar tambak.
Efektivitas blower akan slebih efektif bila di kimbinasikan dengan kincir air
untuk mengatur sedimentasi agar terkumpul di titik tengah. Di Thailand blower
dipasang di belakang kincir berangkai
sehingga udara yang dihasilkan didorong oleh kincir.
6.3.11. Bahan organik
Kondisi kualitas air tambak dapat diukur
dengan parameter kandungan total bahan organik (TOM) atau jumlah N-organik
dalam air. Peningkatan kandungan N-organik dalam disebabkan sisa pakan yang tidak dikomsumsi, kotoran udang,
kematian plankton atau tanaman air lainnya, dan bahan organik yang masuk pada
saat pergantian air. Kandungan bahan
organik yang tinggi lebih dari 60 ppm menunjukkan kualitas air yang menurun.
Proses perombakan bahan organik tidak dapat berlangsung dengan sempurna. Kandungan total bahan organik merupakan
sumber terjadinya senyawa yang dapat meracuni udang dalam proses anaerob atau
reaksi reduksi.
Pengukuran bahan organik dilakukan setiap
minggu baik pada petak pembesaran udang maupun petak tandon. Bila kandungan air
tambak mencapai 50 ppm maka perlu
dilakukan penurunan yaitu dengan cara pergantian atau penambahan air dari petak
tandon. Cara ini dapat dilakukan kalau petak tandon kandungan bahan organiknya
lebih
rendah.
Cara
lain adalah dengan penebaran probiotik jenis Bacillus sp dan Rodobacter sp
secara rutin tiap 3 hari sekali dengan
dosis 1 - 2 ppm untuk mempercepat proses penguraian bahan organik. Perlakukan
lain untuk mencegah terjadinya proses tersebut dengan membuat kondisi aerob
dengan mempertahankan oksigen terlarut tetap tinggi yaitu lebih dari 4 ppm.
Penguraian
bahan organik akan berlangsung dengan
baik apabila komposisi C/N rasio dalam bahan organik tersebut lebih dari 10. Oleh karena perlu dilakukan penambahan
sumber karbon (C-organik). Sumber C-organik yang digunakan adalah bahan-bahan karbohidrat seperti tepung
tapioka, terigu dll. Aplikasi bahan-bahan karbohidrat diberikan 1 - 2 kali per minggu. Dosis
pemberian adalah 10% dari jumlah total protein (crude protein) dari pakan
komersial yang telah diberikan. Sebagai dampak dari perlakukan ini adalah
terjadinya penurunan bahan organik dan pertumbuhan plankton yang ditandai warna
hijau.
6.3.12.
Lumpur dasar tambak
Nilai
redok potensial lumpur dasar tambak menunjukkan kondisi tanah yang
dapat digunakan untuk mengikuti perkembangan fenomena reaksi kimia dan biologi
dalam tambak. Dengan nilai redoks potensial yang negatif menunjukkan terjadinya
reaksi reduksi, yang dapat menghasilkan senyawa yang bersifat racun terhadap
udang seperti senyawa sulfida (H2S), Nitrit dan amonia. Oleh karena itu
sangatlah penting untuk melakukan pengamatan lumpur dasar selama pemeliharaan
untuk menentukan perlakuan.
Kondisi
lumpur dasar tambak selama pemeliharaan juga sangat ditentukan oleh manajemen
pakan tambahan. Pengelolaan pakan harus dilakukan dengan baik. Hal ini
mengingat biaya operasional untuk pakan
dalam budidaya udang sangat besar. Dampak penggunaan pakan yang tidak
terkontrol juga akan menyebabkan permasalahan memburuknya lingkungan tambak dan
pada akhirnya dapat menyebabkan munculnya penyakit dan kematian.
Pengukuran redok tanah dasar tambak dilakukan setiap 2 minggu
sekali. Apabila nilai redoks sudah mencapai -100 mV menunjukan adanya reaksi
reduksi yang diduga akan menghasilkan senyawa beracun nitrit dan sulfida pada
pH asam dan Amonia pada pH basa. Tindakan yang dapat dilakukan bila redok
potensial telah mencapai
kurang -100 mV adalah dengan
meningkatkan kandungan oksigen terlarut
pada dasar tambak. Peningkatan oksigen terlarut dapat dilakukan dengan
aerasi atau dengan pompa Cara lain
adalah dengan pengaturan pH air pada kisaran 7,8 -
8,5. Aplikasi bakteri pengurai secara rutin dapat mempercepat penguraian bahan organik pada lumpur dasar.
6.4. Pembuangan air pada saat pemeliharaan
dan panen
Air
yang keluar dari petak pemeliharaan sedapat mungkin melalui central drain atau
pipa tengah agar lumpur organik dasar tambak sebagian besar dapat terbuang. Air yang mengandung sedimen
akan dialirkan dalam saluran pembuangan yang memiliki lebar dan panjang
tertentu yang dapat membuat arus hanya berkecepatan 3 meter/menit sehingga
suspensi sempat mengendap. Untuk menghemat lahan pengendapan dapat dilakukan
dengan membuat sekat sekat 0.5 m di bawah air
atau sekat zig-zag di saluran.
Air dapat dialirkan langsung ke dalam petak ikan setelah diberi aerasi 1
kincir atau blower 40 watt.
Air
yang boleh dibuang dari petak pemeliharaan harus dikeluarkan melalui pintu
monik lapisan atas, namun bila hendak diendapkan terlebih dahulu, air dapat
dikeluarkan dari manapun. Kualitas air buangan yang memenuhi kriteria
Internasional dapat dilihat pada Tabel 8 berikut ini.
Tabel
8. Kriteria kualitas limbah tambak pada saat panen
Parameter
|
Unit
|
Batas
Maksimum
|
Batas Yad
|
pH
TSS Total P Total Ammonia BOD 5 hari DO pagi hari
|
-mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
|
6.0
-9.5 < 100 < 0.5 < 5 < 50 > 4
|
6.0
– 9.0 < 50 < 0.3 < 3 < 30 > 5
|
6.5.
Aplikasi probiotika
Probiotik pada umumnya didefinisikan sebagai bakteri
tambahan (inokulan) yang dipakai untuk melaksanakan suatu proses enzimatismikrobiologis
tertentu. Kenyataan selanjutnya menunjukkan bahwa organisme yang
melaksanakan tugas-tugas perubahan
biologis juga dapat didefinisikan sebagai biomanipulator. Beberapa organisme
yang dapat dikatakan sebagai biomanipulator
adalah ikan herbivora
(beronang/Siganus spp), ikan omnivora (ikan mujair dan ikan bandeng), ikan
plankton feeder (ikan nila dan ikan belanak) dan ikan-ikan pemakan zooplankton
dan udang kecil seperti wering/ seriding dan ikan keting.
6.5.1.
Jenis probiotik
Berdasarkan
jenis atau fungsinya probiotika juga dapat dikelompokkan ke dalam :
1. Probiotika
pengurai pupuk organik sebelum dimasukkan ke tambak
2. Probiotika
pengurai limbah organik di dalam tambak
3. Probiotika
yang membantu pencernaan pakan buatan di dalam tubuh udang.
Probiotika
secara ekonomis diperhitungkan sebagai input yang mahal, kesalahan persiapan
dan penaganan hanya akan menambah biaya tanpa hasil apapun. Pemberian sebaiknya
dilakukan setelah organisme probiotika ditumbuhkan dengan maskimum sebelum
dimasukkan ke air/dasar tambak.
6.5.2.
Prosedur penumbuhan probiotika
a. Probiotika pengurai pupuk organik
sebelum dimasukkan ke tambak
Diperlukan
untuk menumbuhkan fitoplankton secara cepat dan stabil miminum hingga 7
hari, komposisi pupuk dan probiotika yang diberikan adalah
sbb :
1. Dedak
sebagai sumber karbohidrat, selulosa dan silikat
2. Gula/tetes
tebu sebagai sumber CO2
3. Protein
tepung ikan/Urea/Pakan BS sebagai sumber nitrogen dan karbon (C) sebagai penyusun protein sel probiotika
4. Bakteri
biakan (Baccillus atau Nitrobacter atau Nitrosomonas)
5. Aerasi/
pengadukan agar proses berlangsung secara aerobik
b. Probiotika
pengurai limbah organik di dalam tambak
1. Bakteri
fotosintetik bakteri Chtinioclastic,
Lipolitic, Cellullolityc, proteolitic bacteria.
2. Molase
sebagai sumber Karbon
3. Tepung
ikan sebagai sumber protein
4. Zeolite
sebagai pemberat dan pori-pori penyerap bakteri
5.
Pengadukan
tanpa aerasi karena bakteri aerobik
fakultatif
c. Probiotika
yang membantu pencernaan pakan buatan di dalam tubuh udang
1. Bakteri
Lactobaccillus
2. Gula
dan air sebagai medium pertumbuhan
3. Tepung
ikan sebagai sumber protein
4. Kanji
sebagai medium pengikat untuk dilapisi di pakan (pelet)
Selanjutnya:
Budidaya Udang Windu Intensif Bagian 2
Sumber Tulisan:
Buku PENERAPAN BEST MANAGEMENT PRACTICES (BMP)
PADA BUDIDAYA
UDANG WINDU (Penaeus monodon Fabricius) INTENSIF
Departemen Kelautan dan Perikanan
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya
Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau
Jepara 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar