ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN
Oleh Suryana Slamet
Manajer Program dan Kemitraan Usaha
Manajer Program dan Kemitraan Usaha
Kemitraan sebagaimana dimaksud UU No. 9 Tahun 1995, adalah kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan prinsif saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan.
Pembinaan dan pengembangan UKM, Koperasi dan Pertanian oleh BUMN dapat berupa pinjaman modal, penjaminan dan investasi dan atau pembinaan teknis dalam bentuk hibah khusus untuk membiayai pendidikan dan latihan, pemagangan, promosi, pengkajian dan penelitian.
Sedangkan kerjasama /kemitraan dengan perusahaan swasta dalam rangka pemberdayaan UKM, Koperasi dan Usaha Tani dapat berupa pembiayaan, penjaminan,kerjasama modal dan atau kemitraan dengan pola Inti Plasma, Subkontrak, Dagang Umum, Waralaba, Keagenan dan bentuk-bentuk lain.
Kerjasama dalam bahasa adat Indonesia diartikulasikan dengan istilah Gotong Royong. Pada awal kemerdekaan, bangsa Indonesia sepakat, Koperasi dan Pertanian sebagai Sokoguru dan Pilar Utama Nasional yang didasari semangat kerjasama/kemitraan/gotong royong dalam membangun ekonomi nasional.
Telah banyak produk regulasi dalam mengembangkan program menumbuh kembangkan UKM, Koperasi dan Usaha Tani. Mulai sejak Pengusaha Besar/konglomerat ditatar P4 hingga didirikan Yayasan Prasetya Mulya; Pertemuan Hilton yang melahirkan Deklarasi Hilton; Pertemuan Tapos yang mengingatkan konglomerat mengenai konsep Tricle Down Efeck; Pertemuan Jimbaran Bali yang membuahkan Deklarasi Jimbaran; hingga lahirnya UU No. 9 Tahun 1995, Tentang Usaha Kecil; Keputusan Menteri Keuangan No. 316/KMK.016/1994, Tentang Pedoman Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi Melalui Pemanfaatan Dana dari Bagian Laba BUMN, dan Banyak lagi produk regulasi yang diterbitkan dalam rangka pemberdayaan UKM, Koperasi dan Usaha Tani sampai dengan dalam bentuk Skim Kredit UKM, Koperasi dan Pertanian lengkap dengan produk regulasi pendukungnya.
Produk regulasi yang menjadi dasar gerakan pemberdayaan UKM, Koperasi dan Usaha Tani, implementasinya belum sepenuhnya Efektif menyentuh UKM, Koperasi dan Usaha Tani. Ketidak berpihakan penyelenggara pemerintahan, BUMN dan Pengusaha Besar terlihat dari perkembangan struktur ekonomi nasional baik pada pra reformasi maupun pada pasca reformasi. Struktur ekonomi nasional cenderung timpang. Yakni salah satu faktor utama terjadinya krisis multidimensi yang berkepanjangan.
Pengusaha Besar yang dikenal dengan istilah konglomerat, dalam struktur ekonomi nasional hanya 0,2 persen dan 0,8 persen pengusaha menengah besar. Konglomerat dan pengusaha menengah besar yang jumlahnya tidak lebih dari 200 group dengan kurang lebih 2000 unit jaringan usahanya, kelompok ini menguasai 61 persen Produk Domestik Bruto (PDB). Sedangkan 99 persen pengusaha UKM, Koperasi, Usaha Tani harus berebut 39 persen PDB. Padahal sektor menengah kecil, koperasi dan pertanian yang jumlahnya lebih dari 52 juta unit usaha ini menyerap 87 persen lapangan kerja. Jika melihat fakta di lapangan, UKM, Koperasi dan Pertanian lebih mampu bertahan dari setiap hempasan krisis. Kalau pelaksanaannya UKM, Koperasi dan Pertanian sulit berkembang dan cenderung merugi dalam usahanya, tidak lebih oleh karena beberapa faktor:
1. Adanya cengkeraman kepentingan pelaku ekonomi besar penguasa modal kuat yang dalam operasinya cenderung memutus urat nadi stake holder usaha ekonomi UKM, Koperasi dan Usaha Tani (baca: Petani). Seperti halnya Pertanian. Petani dibiarkan berkutat dalam lingkup produksi, sementara mata rantai ekonomi pertanian lainnya dikuasai pengusaha pertanian, tentunya dengan kekuatan jaringan dan modal kuat. Pada kasus ini, Petani menjadi objek Pengusaha Pertanian. Tanpa adanya ruang kerjasama terbuka dengan menempatkan petani sebagai patner usaha langsung, maka permainan harga dan spekulasi pengusaha pertanian akan cenderung merugikan petani secara ekonomi.
2. Adanya Sikap apriori sebagian besar lembaga keuangan terhadap upaya akses pembiayaan UKM, Koperasi dan Usaha Petani kepada lembaga tersebut. Mencermati fakta yang ada, kinerja dan kredibilitas Pengusaha Besar dan atau Konglomerat tidak lebih baik dari UKM, Koperasi dan Usaha Tani. Kredit UKM, Koperasi dan Usaha Tani, dari 39 % kredit umum Pedesaan, yang macet hanya 5 persen selama kurun waktu 12 tahun berjalan. Dari kredit program Usaha Tani dari 2,1 triliun alokasi kredit yang macet hanya 117 milyar atau sekitar 5,5 persen. Skim kredit tahap berikutnya, Pemerintah mengalokasikan kredit sebesar 10,8 triliun untuk 42 juta UKM dan Koperasi serta 2,3 triliun untuk 10 juta Petani atau total 11,1 triliun kredit UKM, Koperasi dan Pertanian. Dari total kredit tersebut yang macet 4 triliun atau sekitar 30,5 persen. Hal itupun saat itu, dipicu oleh adanya program Tata Niaga Cengkeh, Jeruk, Kedele, Rotan, Impor Gula, dan Impor Beras. Program salah urus yang sedianya untuk membangun dan atas nama UKM, Koperasi dan Usaha Pertanian, justru merontokkanstruktur ekonomi UKM, Koperasi dan Usaha Pertanian. Sementara konglomerat, dimana dalam struktur ekonomi hanya 0,2 persen. Mereka berhutang pada Bank Pemerintah sebesar 930 triliun, yang macet 70 persen, artinya lebih dari 700 triliun bermasalah. Dari 24 konglomerat yang ditetapkan buron, pada meraka saja ratusan triliun uang rakyat tidak jelas rimba dan pertanggungjawabannya.
Dari permasalahan tersebut dapat dipetakan beberapa masalah yang menjadi kendala UKM, Koperasi dan Usaha Tani, antara lain.
1. Terdapat mata rantai distribusi program yang terlalu panjang. Kondisi ini potensial terjadinya peluang penyimpangan dari pelaksana program.
2. Adanya sikap apriori dari Pejabat Pemerintah, Perbankkan, BUMN dan Pengusaha Besar.
3. Berkembangnya paradigma yang menempatkan UKM, Koperasi dan Usaha Tani sebagai komunitas pelaku ekonomi lemah unkredible yang kerjanya hanya menghabiskan segala bentuk kredit program. Dan dengan program tersebut secara tidak langsung membangun citra bahwa UKM, Koperasi dan Usaha Tani hanyalah sebagai objek derma.
4. Belum maksimalnya upaya pemberdayaan sinergis terpadu yang terintegrasi dalam Program Pembinaan, Permodalan dan Akses Pasar.
5. Adanya kepentingan politik ekonomi global yang menyebabkan lemahnya posisi tawar UKM, Koperasi dan Usaha Tani dalam kegiatan ekonomi. Sehingga nilai ekonomi usaha tani relatif rendah dan akibat dari itu semua, telah mempengaruhi gairah dan minat generasi muda untuk terjun dalam usaha tani.
Akibat dari semua itu, UKM, Koperasi dan Usaha Tani cenderung termarginalkan dalam peta ekonomi nasional. Dan oleh karenanya, sudah semestinya Kebijakan Pemerintah Daerah, melalui semangat Otonomi Daerah memberikan dukungan struktural dan komunikasi politik ekonomi untuk kemajuan UKM, Koperasi dan Usaha Tani.
Sebagai bentuk partisipasi pembangunan sektor pertanian, maka penulis memandang perlu adanya rumuskan program Kerja ekonomi pertanian, guna tercapainya pemberdayaan Usaha Tani sekaligus dengan harapan menjadi hasanah solusi terhadap permasalahan yang dihadapi Masyarakat Petani, dengan beberapa Program kerja yang dapat perlu dikembangkan,yaitu:
1. Membangun Paradigma positif dalam kerangka pemulihan kepercayaan berbagai pihak terhadap keberadaan UKM, Koperasi dan Usaha Tani. Program Kerja ini dikemas dalam bentuk pengembangan wacana dan informasi yang proporsional objektif melalui audiensi, lokakarya, dan publikasi diberbagai media khususnya media lokal. Target yang ingin dicapai adalah, pulihnya citra UKM, Koperasi dan Usaha Tani sehingga mendapat apresiasi positif dan tempat yang sejajar dalam kegiatan ekonomi dalam arti luas.
2. Menjalin komunikasi Usaha dengan Pemerintah Daerah, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Pusat, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan non bank, Perusahaan BUMN/BUMD dan Perusahaan Swasta calon mitra usaha, dan bekerjasama dengan lembaga dan organisasi non pemerintah yang kegiatannya berbasis ekonomi pertanian. Target yang ingin diraih program ini yaitu, mendapat dukungan struktural dari Pemerintah Daerah, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Pusat. Mendapat dukungan teknis dan pembiayaan dari lembaga keuangan, BUMN/BUMD serta dukungan program dan pasar dari lembaga atau organisasi daerah dan pusat.
3. Membangun jaringan kerjasama dengan Perguruan Tinggi dalam rangka penyusunan Konsep Pembangunan Agri Bisnis Berbasis Komoditas Pertanian. Yaitu kerjasama dalam membentuk Inkubator Bisnis. Target program ini adalah, tersusunnya konsep program yang memiliki akuntabilitas baik secara teoriritis maupun secara teknis dan terwujudnya Badan Pendampingan Dan Pengembangan Ekonomi Pertanian.
Dengan sudut pandang yang benar, usaha kerjasama / kemitraan dalam mengembangkan ekonomi pertanian diharapkan mendapat tanggapan dan dukungan positif dari semua elemen bangsa serta tumbuhnya kesadaran kolektif, bahwa ekonomi pertanian adalah bagian utama dari pilar ekonomi daerah dan nasional yang harus mendapat perlakuan dan hak yang sama dalam meraih kesempatan hidup sejahtera adil dan makmur.
Karawang, 27 Januari 2006