Umumnya kedelai ditanam petani di lahan sawah atau tegalan. Akan tetapi, fakta dan data menunjukkan bahwa areal tanaman kedelai di Indonesia menunjukkan adanya penurunan luas tanam dibanding 10-15 tahun yang lalu. Hal ini disebabkan oleh persaingan antar komoditas pangan seperti padi, jagung, dan sayuran dataran rendah, serta kurangnya antusias petani untuk tanam kedelai akibat harga kedelai yang kurang layak. Tahun 1992, luas areal kedelai mencapai 1,7 juta ha dengan produksi hampir 1,7 juta ton. Pada saat itu, kebutuhan kedelai dapat dicukupi dari produksi dalam negeri. Namun demikian setelah tahun 1992, luas panen dan produksi kedelai terus menurun. Tahun 2011 (ARAM III BPS) luas panen kedelai mencapai 631.425 ha dan produksi mencapai 870.068 ton. Sebagai akibatnya produksi kedelai dalam negeri tidak mampu mencukupi kebutuhan kedelai yang terus meningkat. Sehingga 60-70 persen dari kebutuhan kedelai harus diimpor dari negara lain, dan ini tidak baik bagi ketahanan pangan kita.
Untuk memenuhi kebutuhan kedelai secara nasional, upaya yang dilakukan adalah peningkatan produktivitas dan perluasan areal. Perluasan areal disamping pembukaan lahan baru, perlu dilakukan melalui pemanfaatan lahan kawasan hutan yang umur tegakannya masih muda (1-4 tahun). Teknologi yang spesifik untuk lahan perkebunan atau hutan adalah varietas kedelai tahan naungan sesuai ekosistem hutan, disamping itu juga harus berumur genjah, produktivitas tinggi dan toleran cekaman biotik (hama dan penyakit) serta abiotik (kekeringan, genangan). Teknologi dan varietas yang memenuhi kriteria tersebut sudah dihasilkan dan beberapa jenis ditampilkan pada gelar teknologi budidaya kedelai di kawasan hutan jati milik Perhutani di Ngawi. Kedelai varietas Grobogan yang digelar, telah dipanen Oleh Menteri Pertanian yang diikuti Bupati Ngawi, Kepala Badan Litbang Pertanian, Direktur Perhutani, Kepala Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur pada tanggal 9 Januari 2012 di Desa Sidolaju, Kecamatan Widodaren, Ngawi, Jawa Timur.
Kenapa ditanami kedelai? Tujuannya adalah meningkatkan produksi kedelai nasional dan salah satu upaya mencapai swasembada kedelai tahun 2014. Tanaman ini sangat bermanfaat karena berpotensi menyuburkan tanah. Dalam satu musim tanam, kedelai menyumbang 44-485 kg N/ha, 7,6-22,5 kg/ha P2O5, 20,0- 92,6 kg/ha K2O, 25,4-51,4 kg/ha Ca yang berasal dari hasil dekomposisi daun, batang, dan akar tanaman kedelai. Tanaman jati membutuhkan unsur P dan Ca dalam jumlah besar untuk pertumbuhan dan pembentukan kualitas kayu yang baik. Dengan demikian penanaman kedelai di antara tanaman jati dalam sistem tumpangsari akan memperbaiki kesuburan lahan hutan. Disamping itu keuntungan lain sistem tumpangsari tanaman pohon jati + kedelai memiliki kelebihan: (a) pemanfaatan lahan lebih optimal yang ditunjukkan oleh nisbah kesetaraan lahan (NKT) atau Land Equivalent Ratio (LER) yang meningkat dari 1,0 menjadi 1,3-1,7, (b) Produk panen beragam, (c) lebih cepat memperoleh penghasilan (kedelai panen umur 76-80 hari), (d) memperoleh tambahan hasil dari tanaman yang ditanam, (e) mencegah erosi, dan (g) menyediakan pakan ternak.
Oleh karena itu, Kementerian Pertanian berkerjasama dengan Kementerian Kehutanan dan Perhutani melaksanakan Gelar Teknologi Budidaya Kedelai di kawasan hutan jati dalam rangka a) mendiseminasikan inovasi teknologi kepada pengguna, khususnya di lahan hutan jati, b) melaksanakan Program Gerakan Peningkatan Produksi Pangan berbasis Kemitraan (GP3K), c) meningkatkan pendapatan petani sekitar hutan (pesanggem = petani penggarap di kawasan hutan), dan d) pelestarian kesuburan lahan hutan karena dampak dari tanaman kedelai. Selain itu, pengembangan teknologi budidaya kedelai di kawasan hutan sangat mendukung program pengadaan benih melalui jalur benih antar lapang antar musim yang di kenal dengan Program JABALSIM.
Oleh karena itu, Kementerian Pertanian berkerjasama dengan Kementerian Kehutanan dan Perhutani melaksanakan Gelar Teknologi Budidaya Kedelai di kawasan hutan jati dalam rangka a) mendiseminasikan inovasi teknologi kepada pengguna, khususnya di lahan hutan jati, b) melaksanakan Program Gerakan Peningkatan Produksi Pangan berbasis Kemitraan (GP3K), c) meningkatkan pendapatan petani sekitar hutan (pesanggem = petani penggarap di kawasan hutan), dan d) pelestarian kesuburan lahan hutan karena dampak dari tanaman kedelai. Selain itu, pengembangan teknologi budidaya kedelai di kawasan hutan sangat mendukung program pengadaan benih melalui jalur benih antar lapang antar musim yang di kenal dengan Program JABALSIM.
Dalam kegiatan panen dan Temu Wicara tersebut, Menteri Pertanian menyerahkan benih kedelai kelas FS sebanyak 3 ton kepada ketua Kelompok LMDH dari KPH Ngawi, Bojonegoro dan Blitar. Pengembangan kedelai pada MH I (Oktober/Nopember – Januari/Februari) memiliki nilai strategis, karena dapat menghasilkan benih sumber pada MH II (Februari-Mei). Apabila sebagian hasil produksi (70% nya) tersebut dijadikan benih, maka dari luasan 8,5 ha akan diperoleh benih kelas SS sebanyak 8.500 kg yang dapat di tanam untuk luasan 213 ha, dan diperkirakan dapat menghasilkan benih ES sebanyak 213.000 kg.
Melalui acara temu wicara di area Gelar Teknologi Kedelai di Kawasan Hutan ini, diharapkan agar para petugas perhutani dan petani LMDH mampu menerapkan teknologi budidaya kedelai di kawasan hutan dan akan memberikan tambahan produksi kedelai nasional.
Sumber: Kabid. KSPHP /
| ||||||||
Tidak ada komentar:
Posting Komentar