Krisis Hutan=Banjir dan Krisis Air |
KPMI/Suryana/04/2012
Pada
tahun 2009, Greenpeace untuk Asia Tenggara melakukan aksi damai di fasilitas
bongkar muat perusahaan pulp dan kertas Asia Pulp and Paper milik PT.
Sinar Mas di Riau selama 26 Jam. Menurut Greenpeace, ribuan orang di seluruh
dunia telah mengirimkan petisi dan surat kepada Presiden SBY agar menghentikan
penghancuran hutan dan lahan gambut di Indonesia menjelang Konferensi Iklim di
Konpenhagen, Desember 2009.
Sebegaimana dijelaskan sebelumnya,
Indonesia merupakan penyumbang ketiga terbesar gas rumah kaca setelah AS dan
China yang (salah satu penyebab utamanya) berasal dari penghancuran terus
menerus hutan alam dan lahan gambutnya. “Dalam lingkup global, satu juta
hektar dihancurkan setiap bulannya setara dengan satu lapangan bola setiap dua
detiknya” (Von Hermandez, Direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara).
Pembalakan Hutan |
Berdasarkan data dari Kementerian
Lingkungan Hidup (2007) menunjukkan bahwa berdasarkan hasil pencitraan satelit,
luas hutan yang tersisa di Indonesia hanya 18,57% atau sekitar 2,3 juta ha. Ini
baru kondisi di pulau Jawa, belum kondisi hutan di wilayah tanah air lainnya,
terutama di Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya yang penebangan hutan terus
berlangsung hingga kini.
Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) Umar Anggara Jenie mengungkapkan, kondisi hutan di Indonesia
sudah mengkhawatirkan karena 1,8 juta hektar hutan hancur per tahun. Data
tersebut berdasarkan pengamatan dari tahun 2002 hingga 2005. Artinya tingkat
kehancuran hutan mencapai dua persen setiap tahun atau setara dengan 51
kilometer persegi per hari.
Dengan tingkat kerusakan yang 1,8 juta
itu, Guinness Books of Record edisi 2008 mencatat Indonesia sebagai
negara yang hutannya mengalami kerusakan paling cepat di antara 44 negara yang
masih memiliki hutan.
Data terbaru yang dihimpun Harian Kompas
19/April 2012. Indonesia memiliki 43 taman nasional darat dengan luas kawasan
mencapai 12,3 juta hektar. Namun sekitar 30 persen diantaranya dalam kondisi
rusak parah akibat perambahan. Salah satunya seperti data Dinas Pertambangan
dan Energi Provinsi Aceh menyebutkan, ada 40 perusahaan pertambangan yang
mengantongi izin usaha di wilayah Nagan Raju, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya dan
Singkil. Lokasi penambangan 40 perusahaan itu masuk kawasan Ekosistem Leuser
(KEL) di zona hutan lindung.
Menurut Harian Kompas aksi ilegalpun
jarang ditindak karena sejumlah pejabat di daerah ditengarai ikut menyokong
pengambilan kayu serta usaha pertambangan dan perkebunan. Hasil riset Bank
Dunia mennjkkan, selama 2006-2010 terjadi kersakan hutan KEL seluas 90.000
hektar. Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang kini telah ditetapkan UNESCO sebagai
hutan hujan tropis warisan Sumatera itu sekitar 20.000 hutan rusak dalam setiap
tahunnya.
Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di
Provinsi Bengkulu juga mengalami sasaran perambahan, pembalakan liar, dan
penambangan emas. Kasus serupa menimpa TNKS wilayah Jambi, Sumatera Barat dan
Sumatera Selatan. Kondisi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan TN
Way Kambas juga mangalami hal serupa. Sekitar 61.000 hektar telah beralih
fungsi.
Kerugian yang diderita akibat kerusakan
hutan?
Untuk menilai potensi kerugian, kita
melihat besaran nilai potensi manfaat sumber daya alam bagi kehidupan sehingga
bisa melihat betapa besarnya kerugian dan resiko akibat kehancuran sumber daya
alam. Adalah kenyataan, Indonesia dijuluki sebagai Megadiversity Country,
karena memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah, peringkat lima besar di
dunia. Tercatat, hutan Indonesia dari angka dunia, memiliki 12% dari jumlah spesies
binatang menyusui/mamalia, pemilik 16% spesies binatang reptil dan ampibi, 25%
dari spesies ikan dan 1.519 spesies burung, lebih dari 38.000 jenis tumbuhan,
di mana 55 persen di antaranya merupakan jenis endemik. Untuk pulau Jawa saja,
ungkap Ketua LIPI Umar Anggara Jenie, setiap 10.000 kilometer persegi
terdapat 2.000 sampai 3.000 jenis tanaman endemik. Sedangkan di Kalimantan dan
Papua mencapai lebih dari 5.000 jenis. Dan masih banyak keanekaragaman hayati
lainnya yang berpotensi dan memiliki prospek secara ekonomis (tanpa merusak
hutan) maupun keilmuan. Semua potensi itu terancam punah atau menyusut drastis
akibat kerusakan hutan oleh ulah manusia dan kerugian yang ditimbulkan akibat
kerusakan itu sangat besar.
Seperti yang ditulis kompas, Ilmuwan
Indonesia berkelas dunia, Guru Besar Kimia Bahan Alam, Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas Padang, Dayar Arbain, mengatakan,
nilai kayu, tidak seberapa jika dibandingkan dengan keanekaragaman hayati yang
menjadi bahan baku obat. Potensi nilai tanaman obat dari pulau Sumatera saja,
menurut Dayar Arbain, bisa menguntungkan sedikitnya 200 juta dollar AS
per tahun.
Kerugian lain akibat penggundulam hutan,
peneliti Sarah Olson dari Universitas Wisconsin, Amerika Serikat, dalam laporan
penelitiannya di jurnal Emerging Infectious Diseases (2010) mengatakan,
penggundulan hutan di Amazon membantu nyamuk berkembang dan menyebabkan angka
malaria melonjak. Ditemukan 48 persen peningkatan dalam kasus malaria di satu
wilayah di Brazil setelah 4,2 persen pohon lindung ditebang. Hal yang sama juga
terjadi di Indonesia. Perusakan hutan juga membuat kasus malaria
meningkat. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Indonesia yang mengungkapkan,
penyakit malaria di Indonesia masih merupakan penyakit menular dengan
prevalensi terbesar, yakni 2,85.
Kerusakan hutan juga menyebabkan
rusaknya Daerah Tangkapan Air (DTA), berakibat kurangnya debit air dan
berujung pada krisis air. Menurut Kasdi Subagyono dari Balai Penelitian
Agroklimat dan Hidrologi Departemen Pertanian Bogor, Indonesia menduduki urutan
ke 5 diantara negara-negara kaya air setelah Brazil, Rusia, China dan Kanada.
Hal ini tercermin dari potensi ketersediaan air permukaan, terutama dari
sungai, yang menurut catatan Departemen Pekerjaan Umum rata-rata 15.500 meter
kubik perkapita pertahun, jauh melebihi rata-rata dunia yang hanya 600 meter
kubik perkapita pertahun. Namun jumlah yang berlimpah itu ketersediaannya
bervariasi menurut tempat dan waktu.
Fakta yang ditemukan sekarang, di pulau
jawa yang penduduknya mencapai 65 % dari total penduduk Indonesia, hanya
tersedia 4,5 % potensi air tawar nasional atau hanya 30.569,2 juta meter kubik
pertahun. Jumlah itu tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan penduduk di pulau
jawa. Artinya di pulau yang penduduknya terpadat ini selalu mengalami defisit,
paling tidak hingga 2015.
Seperti halnya di Jawa Barat yang
mengalami krisis air. Sebagai contoh, Waduk Ir. H. Juanda, Jatiluhur
(Purwakarta) yang airnya berasal dari sungai Citarum yang seharusnya bisa mengairi
sawah seluas 242.000 ha, pada tahun 2007 kemampuannya menurun karena rusaknya
daerah tangkapan air (DTA). Menurut para ahli, daerah aliran sungai (DAS)
Citarum yang luasnya 600.000 ha idealnya ditopang oleh 300.000 ha hutan yang
fungsinya sebagai DTA.
Kondisi yang dialami Jawa
Barat itu juga dialami oleh daerah lain di pulau jawa dan pulau lainnya di
Indonesia. Walhi melaporkan, 60 dari 470 DAS yang
ada di Indonesia dalam kondisi krisis. Padahal dalam Undang-undang Nomor 41
Tahun 1991 terdapat ketentuan yang menyaratkan luas hutan minimal 30 persen di
setiap ekosistem DAS.
Fakta tersebut mendekati apa yang
dilaporankan oleh Forum Air Dunia II (world Water Forum) di Den Haag pada Maret
2000 yang memprediksi, bahwa Indonesia termasuk salah satu negara yang akan
mengalami krisis air pada tahun 2025.
Karena kerusakan lahan dan hutan
berdampak krisis multidimensi sedemikian besar dan merugikan kehidupan umat
manusia, maka mendesak kiranya dilakukan berbagai upaya pengelolaan
sumber daya lahan dan hutan. Lahan dan hutan yang kritis dan gundul, harus
dihijaukan kembali. Upaya penyelamatan lingkungan termasuk di antaranya
penyelamatan sumber-sumber air, harus dilakukan secara terintegrasi dan
berkelanjutan. Penebangan liar, pembalakan kayu hutan dan penggundulan pohon di
sekitar DAS harus dicegah. Industri yang membuang limbah berbahaya tidak boleh
dibiarkan. Pemerintah dan semua elemen masyarakat hendaknya bersama-sama
mengkampanyekan kesadaran dan penyelamatan lingkungan dalam setiap saat dan
kesempatan.
Oleh:
Suryana
Slamet
Direktur Komunitas Petani Mandiri
Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar