Sabtu, 21 April 2012

KRISIS HUTAN DI INDONESIA

Krisis Hutan=Banjir dan Krisis Air
KPMI/Suryana/04/2012
Pada tahun 2009, Greenpeace untuk Asia Tenggara melakukan aksi damai di fasilitas bongkar muat  perusahaan pulp dan kertas Asia Pulp and Paper milik PT. Sinar Mas di Riau selama 26 Jam. Menurut Greenpeace, ribuan orang di seluruh dunia telah mengirimkan petisi dan surat kepada Presiden SBY agar menghentikan penghancuran hutan dan lahan gambut di Indonesia menjelang Konferensi Iklim di Konpenhagen, Desember 2009.

Sebegaimana dijelaskan sebelumnya, Indonesia merupakan penyumbang ketiga terbesar gas rumah kaca setelah AS dan China yang (salah satu penyebab utamanya) berasal dari penghancuran terus menerus hutan alam dan lahan gambutnya. “Dalam lingkup global, satu juta hektar dihancurkan setiap bulannya setara dengan satu lapangan bola setiap dua detiknya” (Von Hermandez, Direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara).

Pembalakan Hutan
Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup (2007) menunjukkan bahwa berdasarkan hasil pencitraan satelit, luas hutan yang tersisa di Indonesia hanya 18,57% atau sekitar 2,3 juta ha. Ini baru kondisi di pulau Jawa, belum kondisi hutan di wilayah tanah air lainnya, terutama di Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya yang penebangan hutan terus berlangsung hingga kini.
Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Umar Anggara Jenie mengungkapkan, kondisi hutan di Indonesia sudah mengkhawatirkan karena 1,8 juta hektar hutan hancur per tahun. Data tersebut berdasarkan pengamatan dari tahun 2002 hingga 2005. Artinya tingkat kehancuran hutan mencapai dua persen setiap tahun atau setara dengan 51 kilometer persegi per hari.

Dengan tingkat kerusakan yang 1,8 juta itu, Guinness Books of Record edisi 2008 mencatat  Indonesia sebagai negara yang hutannya mengalami kerusakan paling cepat di antara 44 negara yang masih memiliki hutan.


Data terbaru yang dihimpun Harian Kompas 19/April 2012. Indonesia memiliki 43 taman nasional darat dengan luas kawasan mencapai 12,3 juta hektar. Namun sekitar 30 persen diantaranya dalam kondisi rusak parah akibat perambahan. Salah satunya seperti data Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Aceh menyebutkan, ada 40 perusahaan pertambangan yang mengantongi izin usaha di wilayah Nagan Raju, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya dan Singkil. Lokasi penambangan 40 perusahaan itu masuk kawasan Ekosistem Leuser (KEL) di zona hutan lindung.

Menurut Harian Kompas aksi ilegalpun jarang ditindak karena sejumlah pejabat di daerah ditengarai ikut menyokong pengambilan kayu serta usaha pertambangan dan perkebunan. Hasil riset Bank Dunia mennjkkan, selama 2006-2010 terjadi kersakan hutan KEL seluas 90.000 hektar. Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang kini telah ditetapkan UNESCO sebagai hutan hujan tropis warisan Sumatera itu sekitar 20.000 hutan rusak dalam setiap tahunnya.

Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di Provinsi Bengkulu juga mengalami sasaran perambahan, pembalakan liar, dan penambangan emas. Kasus serupa menimpa TNKS wilayah Jambi, Sumatera Barat dan Sumatera Selatan. Kondisi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan TN Way Kambas juga mangalami hal serupa. Sekitar 61.000 hektar telah beralih fungsi.

Kerugian yang diderita akibat kerusakan hutan?

Untuk menilai potensi kerugian, kita melihat besaran nilai potensi manfaat sumber daya alam bagi kehidupan sehingga bisa melihat betapa besarnya kerugian dan resiko akibat kehancuran sumber daya alam. Adalah kenyataan, Indonesia dijuluki sebagai Megadiversity Country, karena memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah, peringkat lima besar di dunia. Tercatat, hutan Indonesia dari angka dunia, memiliki 12% dari jumlah spesies binatang menyusui/mamalia, pemilik 16% spesies binatang reptil dan ampibi, 25% dari spesies ikan dan 1.519 spesies burung, lebih dari 38.000 jenis tumbuhan, di mana 55 persen di antaranya merupakan jenis endemik. Untuk pulau Jawa saja, ungkap  Ketua LIPI Umar Anggara Jenie, setiap 10.000 kilometer persegi terdapat 2.000 sampai 3.000 jenis tanaman endemik. Sedangkan di Kalimantan dan Papua mencapai lebih dari 5.000 jenis. Dan masih banyak keanekaragaman hayati lainnya yang berpotensi dan memiliki prospek secara ekonomis (tanpa merusak hutan) maupun keilmuan. Semua potensi itu terancam punah atau menyusut drastis akibat kerusakan hutan oleh ulah manusia dan kerugian yang ditimbulkan akibat kerusakan itu sangat besar.
Seperti yang ditulis kompas, Ilmuwan Indonesia berkelas dunia, Guru Besar Kimia Bahan Alam, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas Padang, Dayar Arbain, mengatakan, nilai kayu, tidak seberapa jika dibandingkan dengan keanekaragaman hayati yang menjadi bahan baku obat. Potensi nilai tanaman obat dari pulau Sumatera saja, menurut Dayar Arbain, bisa menguntungkan sedikitnya 200 juta dollar AS per  tahun.

Kerugian lain akibat penggundulam hutan, peneliti Sarah Olson dari Universitas Wisconsin, Amerika Serikat, dalam laporan penelitiannya di jurnal Emerging Infectious Diseases (2010) mengatakan, penggundulan hutan di Amazon membantu nyamuk berkembang dan menyebabkan angka malaria melonjak. Ditemukan 48 persen peningkatan dalam kasus malaria di satu wilayah di Brazil setelah 4,2 persen pohon lindung ditebang. Hal yang sama juga terjadi di  Indonesia. Perusakan hutan juga membuat kasus malaria meningkat. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Indonesia yang mengungkapkan, penyakit malaria  di Indonesia masih merupakan penyakit menular dengan prevalensi terbesar, yakni 2,85.

Kerusakan hutan juga menyebabkan rusaknya Daerah Tangkapan Air (DTA),  berakibat kurangnya debit air dan berujung pada krisis air. Menurut Kasdi Subagyono dari Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Departemen Pertanian Bogor, Indonesia menduduki urutan ke 5 diantara negara-negara kaya air setelah Brazil, Rusia, China dan Kanada. Hal ini tercermin dari potensi ketersediaan air permukaan, terutama dari sungai, yang menurut catatan Departemen Pekerjaan Umum rata-rata 15.500 meter kubik perkapita pertahun, jauh melebihi rata-rata dunia yang hanya 600 meter kubik perkapita pertahun. Namun jumlah yang berlimpah itu ketersediaannya bervariasi menurut tempat dan waktu.

Fakta yang ditemukan sekarang, di pulau jawa yang penduduknya mencapai 65 % dari total penduduk Indonesia, hanya tersedia 4,5 % potensi air tawar nasional atau hanya 30.569,2 juta meter kubik pertahun. Jumlah itu tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan penduduk di pulau jawa. Artinya di pulau yang penduduknya terpadat ini selalu mengalami defisit, paling tidak hingga 2015.

Seperti halnya di Jawa Barat yang mengalami krisis air. Sebagai contoh, Waduk Ir. H. Juanda, Jatiluhur (Purwakarta) yang airnya berasal dari sungai Citarum yang seharusnya bisa mengairi sawah seluas 242.000 ha, pada tahun 2007 kemampuannya menurun karena rusaknya daerah tangkapan air (DTA). Menurut para ahli, daerah aliran sungai (DAS) Citarum yang luasnya 600.000 ha idealnya ditopang oleh 300.000 ha hutan yang fungsinya sebagai DTA.

Kondisi yang dialami Jawa Barat itu juga dialami oleh daerah lain di pulau jawa dan pulau lainnya di Indonesia. Walhi melaporkan,  60 dari 470 DAS yang ada di Indonesia dalam kondisi krisis. Padahal dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1991 terdapat ketentuan yang menyaratkan luas hutan minimal 30 persen di setiap ekosistem DAS.  

Fakta tersebut mendekati apa yang dilaporankan oleh Forum Air Dunia II (world Water Forum) di Den Haag pada Maret 2000 yang memprediksi, bahwa Indonesia termasuk salah satu negara yang akan mengalami krisis air pada tahun 2025.

Karena  kerusakan lahan dan hutan berdampak krisis multidimensi sedemikian besar dan merugikan kehidupan umat manusia, maka mendesak kiranya  dilakukan berbagai upaya pengelolaan sumber daya lahan dan hutan. Lahan dan hutan yang kritis dan gundul, harus dihijaukan kembali. Upaya penyelamatan lingkungan termasuk di antaranya  penyelamatan sumber-sumber air, harus dilakukan secara terintegrasi dan berkelanjutan. Penebangan liar, pembalakan kayu hutan dan penggundulan pohon di sekitar DAS harus dicegah. Industri yang membuang limbah berbahaya tidak boleh dibiarkan. Pemerintah dan semua elemen masyarakat hendaknya bersama-sama mengkampanyekan kesadaran dan penyelamatan lingkungan dalam setiap saat dan kesempatan.

Oleh:
Suryana Slamet
Direktur Komunitas Petani Mandiri Indonesia


Tidak ada komentar: